Kedua, karena ini berkenaan dengan esensi ruang dan waktu, kita mengetahui bahwa semua hal yang memasuki dimensi ruang dan waktu akan musnah dan sirna. Sehingga, saat seseorang mempermisalkan Allah dengan sesuatu, baik itu berbentuk patung dan sebagainya, berarti ia memasukkan esensi ketuhanan ke dalam ruang dan waktu. Padahal, Tuhan itu tidak terbatas ruang dan waktu. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas ruang dan waktu kemudian dimasukkan ke dalam ruang dan waktu yang serba terbatas?
Lebih dari itu, sifat Allah yang kedua adalah Baqa’ yang artinya 'kekal abadi'. Apabila manusia bersikeras untuk mempermisalkan Zat Allah ke dalam sebuah bentuk, maka hakikatnya menjadikan esensi ketuhanan tidak lagi kekal abadi, namun terbatas ruang dan waktu.
Demikianlah dua hujjah yang dijelaskan untuk meneguhkan bahwasannya manusia bukan tidak bisa melihat Allah dengan mata kepala, namun esensi dari zat Allah yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai hal tersebut.
Sebagai disebutkan dalam QS. Al-An’am ayat 103 yang artinya; “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus, Maha Teliti”