YANGON, iNews.id - Myanmar bersiap menggelar pemilihan umum (pemilu) tahap awal pada 28 Desember 2025, pertama kali sejak kudeta militer yang menggulingkan Aung San Suu Kyi pada 2021. Namun pemilu ini sudah menuai kritik luas, lantaran oposisi anti-junta dilarang ikut serta, sehingga dipandang hanya sebagai formalitas untuk memperkuat kekuasaan militer.
Menurut laporan media pemerintah, sebanyak 55 partai politik telah mendaftar untuk ikut serta, sembilan di antaranya berkompetisi di level nasional. Enam partai lain masih dalam proses peninjauan.
Meski angka ini tampak besar, absennya kelompok oposisi utama membuat peta politik pemilu nyaris hanya dikuasai partai pro-junta.
Jalan Buntu Demokrasi
Pemerintahan sementara yang dikendalikan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing mengklaim pemilu ini sebagai bagian dari peta jalan menuju demokrasi. Namun, negara-negara Barat menilai pemilu hanyalah upaya junta mencari legitimasi, bukan pemulihan demokrasi yang nyata.
“Tanpa oposisi, pemilu hanyalah panggung kosong. Ini bukan kompetisi politik, melainkan legitimasi buatan,” ujar seorang pengamat politik Asia Tenggara.
Perang Saudara Bayangi Pemilu
Sejak kudeta 2021, Myanmar dilanda perang saudara yang semakin meluas. Kelompok bersenjata oposisi menguasai sejumlah wilayah, membuat pelaksanaan pemilu penuh tanda tanya. Junta berencana menggelar pemungutan suara di lebih dari 300 daerah pemilihan, termasuk kawasan yang masih dikuasai kelompok pemberontak.
Namun, sensus nasional tahun lalu menunjukkan keterbatasan besar: dari 330 kota, hanya 145 yang berhasil didata. Hal ini menimbulkan keraguan serius mengenai validitas daftar pemilih dan kredibilitas hasil pemilu.