Pada aksi unjuk rasa pascakudeta kali ini, respons militer Myanmar tidak begitu mematikan seperti pada 1988. Akan tetapi, setidaknya sudah ada tiga orang yang tewas sejauh ini, setelah dua orang ditembak mati di Mandalay pada Sabtu (20/2/2021) lalu. Selain itu, ada satu polisi tewas karena cedera saat menangani aksi massa, menurut klaim militer Myanmar.
Media milik negara, MRTV, memperingatkan orang-orang akan rencana aksi pada hari ini. “Para pengunjuk rasa sekarang menghasut masyarakat, terutama remaja dan pemuda yang emosional, ke jalur konfrontasi di mana mereka akan menderita kehilangan nyawa,” kata stasiun televisi itu.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Myanmar menyebut pihak berwenang di negara itu akan “menahan diri sepenuhnya”.
Beberapa negara Barat mengutuk kudeta dan mengecam kekerasan aparat terhadap pengunjuk rasa di negara Asia Tenggara itu. Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Inggris dan Jerman juga mengutuk kekerasan tersebut. Sementara, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, tindakan represif aparat yang menghilangkan nyawa orang itu tidak dapat diterima.
Militer merebut kekuasaan dengan menggulinggkan paksa Aung San Suu Kyi. Kelompok tentara itu menuduh telah terjadi kecurangan dalam pemilu 8 November lalu—yang dimenangkan partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).