"Selama saya tinggal di Gaza, perang meletus, dan saya mendapati diri saya berada di Jalur Gaza utara, mengalami kesulitan dan tragedi yang sama seperti setiap warga Palestina. Rumah saya dibom dan dihancurkan," kata Qanou.
Selama perang, dia pun berhenti mengerjakan tesis doktoralnya untuk sementara waktu. Akan tetapi, tekadnya yang begitu kuat terus mendorong pria itu hingga melanjutkannya sampai akhir.
Qanou menggambarkan tantangan awalnya yang dihadapi seperti internet dan pemadaman listrik. Namun dia berhasil mengatasinya dan melanjutkan penulisan disertasinya.
"Pada Maret, saya berhasil menyelesaikan sidang pendahuluan yang mempersiapkan saya untuk sidang akhir. Pada tanggal 10 Juli, sidang akhir saya dilakukan secara daring," katanya.
Selama sidang akhir untuk mempertahankan disertasinya, Qanou sempat khawatir tentang kemungkinan gangguan internet atau kehabisan baterai perangkatnya. Namun, dia berhasil mengisi daya perangkatnya menggunakan energi matahari. Diskusi daring hari itu berlangsung sekitar lima jam berturut-turut.
"Sidang itu dilakukan di pagi hari di tengah perang yang sedang berlangsung, pengeboman rumah saya, dan kondisi sulit yang saya hadapi seperti warga Palestina lainnya di Gaza yang menghadapi kehancuran perang," tututnya.
Kendati menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut, sidang doktoralnya tetap dilanjutkan. Setelah melalui upaya yang cukup besar, komite di USM memutuskan untuk menganugerahkan gelar doktor kepadanya.
Sejak dimulainya perang pada 7 Oktober, Israel telah menghancurkan enam universitas di Gaza. Serangan militer Israel juga mengakibatkan tewasnya tiga presiden atau rektor universitas dan lebih dari 95 dekan dan profesor perguruan tinggi.
Hingga Juli lalu, perang di Gaza telah mengganggu pendidikan 88.000 siswa, sementara 555 orang lainnya, yang telah mendapatkan beasiswa internasional, tidak dapat bepergian ke luar negeri. Semua data itu tertuang dalam laporan Observatorium Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania.