Pada tahun 2006, Haniya memimpin Hamas meraih kemenangan dalam pemilu legislatif Palestina, mengalahkan Fatah. Meskipun sempat menjabat sebagai perdana menteri Otoritas Palestina (PA), tekanan internasional dan kekerasan internal akhirnya membuat pemerintah persatuan tersebut dibubarkan pada tahun 2007, dan Hamas mengambil alih Jalur Gaza.
Sebagai pemimpin de facto di Gaza, Haniya dikenal pragmatis dan fleksibel. Dia sering menyuarakan dukungannya terhadap pembentukan negara Palestina berdasarkan perbatasan 1967 dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
Namun, pandangan ini tetap dibarengi dengan penolakannya terhadap kompromi hak-hak Palestina.
Ismail Haniya terpilih sebagai kepala biro politik Hamas pada tahun 2017, menggantikan Khaled Meshaal. Terpilihnya Haniya menandai fase baru dalam organisasi tersebut, terutama dalam pendekatannya terhadap Israel dan perubahan struktur organisasi.
Selama perang Israel-Gaza tahun 2014, Haniya kehilangan dua keponakannya dan sebagian rumahnya hancur akibat serangan Israel. Pada April 2024, serangan Israel juga menewaskan tiga anak Haniya serta empat cucunya.
Kematian Haniya di Iran menambah kompleksitas situasi di Timur Tengah. Seiring dengan pengaruh besar yang dimiliki Hamas di Gaza, hilangnya Haniya diperkirakan akan memicu dinamika baru dalam perjuangan Palestina dan hubungan dengan Israel serta negara-negara tetangga.