“Dia orang yang tidak banyak bicara dan juga tidak menonjolkan diri," kata seorang teman sekelasnya, pada 2016.
Min Aung Hlaing lalu melanjutkan studi militer di akademi pertahanan DSA, meskipun baru diterima setelah mencoba tiga kali yakni pada 1974. Menurut seorang teman sekelas di DSA, Min hanya seorang kadet biasa, namun dia terkejut begitu mengetahui kariernya meroket dan cepat naik pangkat melebihi pangkat menjadi perwira.
Selama berkarier di militer, nama Min ikut disebut dalam kekerasan terhadap muslim Rohingya.
Kekerasan militer Myanmar pada 2017 memicu eksodus 730.000 muslim Rohingya ke Bangladesh. Penyelidik PBB mengatakan operasi militer Myanmar merupakan pembunuhan massal, pemerkosaan berkelompok, serta pembakaran dengan niat genosida.
Sebagai tanggapan, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap Min Aung Hlaing dan tiga pemimpin militer lainnya pada 2019, serta penuntutan atas beberapa kasus di berbagai pengadilan internasional, termasuk Mahkamah Internasional (ICJ).
Bahkan pada 2019, penyelidik PBB mendesak para pemimpin dunia untuk menjatuhkan sanksi keuangan kepada perusahaan yang terkait dengan militer Myanmar.