Kemarahan Erdogan kepada Finlandia dan Swedia juga diburuk oleh tindakan kedua negara Nordik itu menampung para pengikut ulama karismatik Turki, Fethullah Gulen. Erdogan menuduh para Gulenis melakukan kudeta yang gagal terhadap pemerintahnya pada 2016.
Tidak cukup sampai di situ, Finlandia dan Swedia juga mengutuk serangan Turki tahun 2019 ke Suriah. Dalam operasi itu, pasukan Turki menargetkan Rojava—daerah kantong kaum sosialis, feminis, dan pejuang otonomi Kurdi di dekat perbatasan Turki. Yang memperumit masalah, orang-orang Suriah di Rojava—terlepas dari hubungan mereka dengan PKK—adalah sekutu pasukan Amerika.
Suku Kurdi di Rojava memainkan peran penting dalam mengalahkan kelompok ISIS di Suriah. Akan tetapi, mereka kemudian ditinggalkan oleh AS setelah Presiden Donald Trump menarik pasukannya kembali dari perbatasan Turki. Langkah Trump kala itu memungkinkan Turki melancarkan operasi militer melawan Kurdi.
Pakar sejarah dan ilmu politik dari Universitas Michigan AS, Ronald Suny mengatakan, kebijakan luar negeri hampir selalu terkait erat dengan urusan dalam negeri. Dalam kasus Pemerintah Turki, ketakutan utamanya adalah ancaman yang dapat ditimbulkan oleh kelompok Kurdi terhadap kekuasaan Ankara.
“Juga tekanan internasional atas catatan Turki dalam menindas kelompok (Kurdi) tersebut,” kata Suny, seperti dilansir laman The Conversation, hari ini.
Penduduk Kurdi di Turki tidak diizinkan untuk memiliki hak untuk memilih dan dipilih secara bebas di wilayah Anatolia Timur. Padahal, mereka adalah masyarakat mayoritas di sana. Sementara itu, lembaga pendidikan dan budaya berbahasa Kurdi juga menghadapi larangan secara de facto.
Finlandia dan Swedia selama ini dikenal sebagai negara netral. Keduanya tidak terikat pada kompromi strategis yang dipaksakan oleh Amerika Serikat maupun NATO untuk mengambil sikap moral atas tindakan keras Turki terhadap masyarakat Kurdi.
Helsinki dan Stockholm sampai saat ini juga masih bebas untuk memprotes kebijakan Ankara memerangi para pemberontak Kurdi.