Setahun kemudian, umat katolik mendapat hibah sebidang tanah yang berlokasi di sebelah Barat laut Lapangan Banteng sebagai ganti rumah bambu. Namun kurangnya dana pembangunan gereja pun terpaksa ditunda.
Pihak gereja pun memohon kepada pemerintah untuk memberikan bangunan kecil milik Gubernemen (sebutan pemerintah pada masa penjajahan Belanda) yang sudah dibangun sejak 1770 berlokasi di jalan Kenanga, kawasan Senen.
Bangunan yang memiliki luas 8x23 meter persegi ini juga digunakan oleh umat Protestan berbahasa Melayu dan Belanda di Batavia. Setelah dilakukan renovasi, gereja ini kemudian dijadikan gereja Katolik yang dapat menampung hingga 200 jemaat.
Pada tahun 1826 terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan banyak bangunan di kawasan Senen. Bangunan gereja tidak ikut terbakar, walau mengalami kerusakan di beberapa bagiannya, namun bangunan gereja tidak direnovasi, karena mengingat tanah tersebut bukanlah tanah milik gereja.
Sejarah singkat Gereja Katedral juga berlangsung setelah tragedi tersebut. Umat katolik menggunakan rumah dinas para gubernur jenderal yang telah kosong dengan tanah seluas 34 x 15 meter. Hal itu diberikan persetujuan atas perantara Komisaris Jenderal Du Bus De Gisignies.
Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni pihak gereja membayar 20.000 gulden (mata uang Belanda pada saat itu) sebagai harga tanah tersebut. Kemudian pihak gereja diberikan 10.000 gulden untuk perbaikan gereja.