JAKARTA, iNews.id - Contoh teks anekdot menyindir teman jadi informasi yang menarik untuk dibahas. Jenis teks ini kerap disampaikan dengan gaya bahasa yang humoris dan menghibur orang sekitar.
Menggunakan anekdot adalah salah satu cara mencairkan suasana dan mengundang tawa. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya mencoba cara kreatif satu ini untuk menyampaikan keresahan sekaligus menghibur teman.
Melansir Asmarani, dkk (2020), dalam bukunya yang berjudul Teks Anekdot, teks anekdot adalah tulisan yang berisi kisah pengalaman hidup seseorang. Teks satu ini dibuat dengan tujuan memberikan kritik atau saran kepada pemerintah, organisasi, atau seseorang.
Berikut contoh teks anekdot menyindir teman yang dilansir dari berbagai sumber, Rabu (25/9/2024).
Saya punya teman yang bernama Anjar. Ia kurang disukai oleh teman-temannya karena memiliki sifat sok tahu dan tidak ingin dilampaui oleh yang lain. Pokoknya ia harus yang nomor satu.
Suatu hari saya dan teman-teman saya sedang ngobrol tentang rencana nonton pagelaran wayang kulit pada akhir pekan nanti.
Ketika kami sedang mengobrol tiba-tiba Anjar datang dan ikut nimbrung. Lalu dengan wajah yang tanpa dosa Anjar mengatakan kalau dalang yang akan saya tonton pagelaran wayang kulitnya akhir pekan nanti itu tidak bagus.
Menurut Anjar, dalang yang akan saya tonton ini dalam pagelarannya sering keluar pakem dan terlalu modern. Sehingga nilai-nilai kearifan luhurnya tidak terasa lagi.
“Kalau menurutku lebih baik nonton pagelarannya dalang-dalang senior. Ceritanya lebih bagus,” kata Anjar.
“Iya, soalnya jam terbang juga memberikan pengaruh besar bagi profesi dalang. semakin banyak jam terbangnya, semakin matang seorang dalang,” kata teman saya lain.
“Daripada menonton dalang yang kalian lihat itu, mending nonton wayangannya Ki Narto Sabdo.”
“Hlo, memangnya dalam waktu dekat ini Ki Narto Sabdo mau mengadakan pagelaran wayang kulit?”
“Kabarnya sih gitu?”
“Wah, kalau yang wayangan Ki Narto Sabdo, saya nggak mau lihat. Takut,” kata teman saya.
“Hlo, kenapa? Bukannya beliau dalang yang hebat?”
“Memang sih. Beliau memang salah satu dalang terhebat. Tapi beliau sudah wafat bertahun-tahun yang lalu. Kalau beliau tanggapan lagi kan serem.”
Seketika Anjar pucat dan pamit pergi. Sepeninggal Anjar kami cekikian bersama.
Farhan pulang dari sekolah dengan wajah lesu dan lemas, tak lama kemudian Ucok datang dan bertanya mengenai ujiannya.
“Bagaimana ujiannya, Farhan ?” tanya Ucok.
“Farhan dapat 10 soal tapi cuma 1 soal yang jawabannya betul, Cok,” jawab Farhan.
“Gak apa-apa yang penting kamu sudah isi semua soalnya Farhan,” Ucok menghibur Farhan.
“Maksudnya, saya tadi cuma mengerjakan satu soal dan yang sembilan lagi enggak,” tutur Farhan.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, Fathan menemukan salah satu pamannya yang sangat kaya dan tidak memiliki anak, meninggal dan meninggalkan banyak uang untuknya, jadi dia memutuskan untuk mendirikan agen perumahannya sendiri.
Fathan menemukan kantor yang bagus. Ia membeli beberapa perabot baru dan pindah ke sana. Ia baru berada di sana selama beberapa jam ketika dia mendengar seseorang datang ke pintu kantornya.
“Itu pasti pelanggan pertamaku,” pikir Fathan. Ia segera mengangkat telepon dan berpura-pura sangat sibuk menjawab panggilan penting dari seseorang di Jakarta Utara yang ingin membeli rumah besar dan mahal di daerah tersebut.
Pria itu mengetuk pintu, masuk dan menunggu dengan sopan sampai Fathan menyelesaikan percakapannya di telepon. Kemudian pria itu berkata kepada Fathan, “Saya dari perusahaan telepon dan saya dikirim ke sini untuk menyambungkan kabel telepon Anda.”
Suatu hari Abu Ali pergi ke pasar dan membeli sembilan keledai. Dia pulang ke rumah dengan menunggangi salah satu keledai, dan delapan ekor keledai lainnya mengikuti di belakang.
Setelah beberapa saat, Abu Ali berkata pada dirinya sendiri, “Saya harus memastikan semua keledai saya ada di sini.” Ia berbalik untuk menghitungnya.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Oh! Di mana keledai yang kesembilan?” Abu Ali panik.
Ia melompat turun dari keledainya, melihat ke balik bebatuan dan balik pepohonan. Tapi tidak ada keledai yang tertinggal.
“Saya akan menghitungnya lagi,” kata Abu Ali. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan. Oh, keledai yang kesembilan pasti sudah kembali.”
Abu Ali kembali menunggangi keledainya dan pergi.
Setelah beberapa saat, Ia menghitung keledainya lagi. Tapi jumlah yang dihitungnya hanya ada delapan ekor keledai! Sekali lagi Ia melihat ke balik bebatuan dan balik pepohonan. Tapi tidak ada keledai yang tertinggal.
“Saya akan menghitung lagi,” katanya, dan kali ini ada sembilan ekor.
Saat itu Abu Ali melihat temannya Musa sedang berjalan. “Musa,” panggilnya. “Bantu saya menghitung keledaiku. Saya merasa selalu kekurangan satu ekor. Kalau saya berhenti untuk menghitung ada berapa ekor, saya hanya melihat delapan ekor saja. Tapi kalau saya turun dari keledai yang sedang ditunggangi lalu mencoba berhitung, keledai yang kesembilan, dia ada lagi!”
“Saya justru bisa melihat ada sepuluh ekor keledai,” tawa Musa. “Dan keledai yang kesepuluh namanya Abu Ali.”
Kisah ini terjadi sekitar 12 tahun yang lalu, ketika itu saya masih terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di salah satu universitas di kota S.
Ketika sedang leyeh-leyeh santai di depan kontrakan bersama beberapa kawan. Datanglah Saiful dengan membawa seperangkat PS 2.
Ia mengatakan kalau hari ini dia menang taruhan bola, dan uang hasil menang taruhan itu dia gunakan untuk menyewa seperangkat PS 2 selama dia hari.
Setelah sukses menyewa PS 2, Saiful kemudian menantang saya dan kawan-kawan kontrakan main PS 2.
Saiful berujar bahwa siapapun yang dapat menang melawannya dalam bermain PS 2 akan dituruti semua permintaannya.
Usulan Saiful pun kami turuti. Dalam beberapa pertandingan, akhirnya kami dapat mengalahkan Saiful.
Dan sebagai konsekuensi atas kekalahannya, Saiful harus mau diajak makan pecel lele. Saat tahu bahwa konsekuensi atas kekalahannya adalah makan lele.
Saiful mati-matian menolaknya. Saiful menolak ajakan itu bukan karena dia tidak suka makan lele.
Melainkan karena di tempat Saiful ada sebuah pantangan untuk tidak makan lele. Entah apa alasannya saya sendiri sampai sekarang tidak tahu.
“Pokoknya jangan makan lele. Saya takut kualat,” kata Saiful memelas.
“Baik, kami tidak akan mengajakmu makan lele dengan catatan kamu tidak merasa sok jagoan lagi dalam urusan main game. Ingat, di atas kamu masih ada kami.”
“Baik, saya janji. Saya kapok.”
Saiful nampak lega karena dia tidak harus makan lele yang menjadi pantangan di daerah asalnya yakni Lamongan, Jawa Timur.