Fadjroel mengatakan, seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah pusat dan daerah mempertimbangkan tingkat nasional, terukur, serta penuh kehati-hatian. Mengingat, kebijakan yang diambil pemerintah baik di pusat maupun daerah berdampak luas pada jutaan rakyat Indonesia.
Mengenai pencegahan virus korona, dia memaparkan, pemerintah pusat dan daerah secara terukur wajib menjalankan kebijakan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan UUD 1945, UU UU No: 6/2018 tentang Karantinaan Kesehatan, lalu Inpres No. 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Aturan lainnya, Keppres No: 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Gugus Tugas yang dikomandoi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo ituberada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Selain itu juga memperhatikan peraturan teknis Menteri Kesehatan berupa Surat Edaran No.HK.02.01/Menkes/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19.
Fadjroel mengakui, karantina wilayah atau lockdown memang salah satu kebijakan yang tertuang dalam Nomor 6 Tahun 2018 sebagai respons atas kedaruratan kesehatan masyarakat. Namun, kata Fadjroel, kebijakan itu harus memperhatikan keselamatan dan kehidupan publik. Presiden Jokowi lebih memilih mengambil kebijakan pembatasan sosial (Social Distance).
"Bahwa benar menurut UU tersebut dimungkinkan adanya karantina wilayah (lockdown), tetapi kehati-hatian mempertimbangkan keselamatan dan kehidupan publik tetap menjadi prioritas dalam memutuskan kebijakan publik," ujarnya.