Persoalan demikian menjadi dilema, walau sejujurnya kondisi itu adalah gambar sehari-hari selama ini. Banyak dari orang tua yang sibuk bekerja dan tidak menaruh peduli dengan kegiatan anak-anaknya di sekolah, serta berangapan bahwa urusan belajar mengajar semata-mata pekerjaan seorang guru di sekolah.
Perlu disadari bahwa kegiatan di rumah sepanjang hari, telah mengubah perilaku kita, termasuk perilaku anak. Sebagian sekolah ada yang tetap menerapkan aturan anak belajar pada jam yang ditentukan dengan menggunakan segaram, namun ada pula yang melonggarkan aturan itu.
Standarnya memang tidak sama, yang membuat orang tua masing-masing keluarga juga punya ukuran masing-masing, terlebih tidak semua orang tua mengetahui standar nilai perilaku kehidupan sekolah anak-anaknya, guru pun lupa untuk menyampaikanya sedari awal. Apa yang terjadi? Muncul perilaku-perilaku baru.
Pertanyaannya, apakah perilaku baru itu baik atau justru sebalinya? Contoh kecil soal kebiasaan mandi di pagi hari yang dilakukan saat harus berangkat sekolah, tak sedikit orang tua yang melonggarkan kebiasaan ini. Atau, kebiasaan anak menonton tayangan, jika saat sekolah sedikit sekali waktu mereka untuk berada depan televisi atau komputer dan memegang handphone, sekarang sepanjang waktu bisa dilakukan, karena minimnya kegiatan lain yang dilakukan ayah dan ibunya di rumah bersama anak.
Dari contoh-contoh itu ingin disampaikan bahwa orang tua perlu memperhatikan hal itu, jangan sampai perilaku baru pada masa mendatang adalah anak menjadi malas, tidak semangat, jarang bergerak, dan hal lain (hasil dari mencontoh prilaku orang tua).
Hak Pendidikan Anak Marjinal
Tidak hanya soal penguatan peran orang tua, problematika dunia pendidikan menjadi semakin kompleks saat harus melakukan pemenuhan hak bagi anak-anak marjinal, termasuk mereka yang selama ini belajar di bawah asuhan lembaga swadaya masyarakat atau komunitas.
Di tengah keberlangsungan belajar daring, berita di media masa banyak mengangkat kisah guru dan siswa yang tidak bisa mengikuti tuntutan belajar daring, alasanya beragam ada yang karena jeleknya sinyal, juga karena alasan kemiskinan. Kisah inspiratif pun muncul saat guru memilih untuk berkeliling ke rumah-rumah banyak ditemukan.
Persoalan serupa juga dirasakan sebagain anak di Jakarta, mereka yang merasakannya adalah anak-anak warga miskin kota yang hidup di pinggiran. Mereka hidup seorang diri, bukan hanya soal belajar yang utama mereka butuh makan di saat semua dipaksa harus di rumah.
Satu langkah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menfasilitas anak belajar yakni dengan menayangkan program televisi di TVRI. Langkah ini sangat baik, dan dinilai mendukung pemenuhan hak anak terutama rakyat prasejahtera, karena tak mungkin warga marjinal itu mengakses internet atau menggunakan ragam flatform aplikasi belajar online, sekalipun gratis, mereka tidak punya alatnya.
Namun kritik muncul pada tayangan di tv nasional itu, untuk materi ajar siswa sekolah dasar sebaiknya tidak ada penyampaian materi yang terpotong iklan. Harus dipahami cara menangkap pelajaran anak itu berbeda, dan untuk anak-anak usia sekolah dasar mereka butuh fokus, sehingga jangan secara tiba-tiba saat belajar harus menonton iklan layanan Mas Menteri di tengah-tengah belajar, iklan bisa ditempatkan di awal sebelum dan di belakang setelah tayangan belajar secara utuh disampaikan.