Ayahnya pun selalu berdoa supaya diberi keturunan yang saleh dan ahli berkhotbah. Kelahiran Al Ghazali dan saudaranya, Abu Al Futuh Ahmad, diyakini sejumlah sejarawan sebagai jawaban dari doa-doa sang ayah.
Disebutkan, ada dua pendapat terkait penamaan Al Ghazali. Pendapat pertama, Al Ghazali berasal dari kata Al Ghazzal, yang mengacu pada profesi kakek dan ayah sang ulama sebagai pemintal wol.
Sementara pendapat kedua menyebutkan julukan Al Ghazali merujuk pada lokasi dia dilahirkan, yakni Desa Ghazala, dekat Thus.
"Kedua pendapat tersebut juga sama-sama memiliki justifikasi dari sisi bahasa," tulis Fikri.
Meski berlatar belakang keluarga tak mampu, Al Ghazali menyadari pendidikan nomor satu. Keadaannya juga didukung dengan lingkungan yang agamis, ditandai dengan pamannya, Abu Hamid, sosok alim yang kerap menulis dan diakui oleh ahli hukum dari berbagai daerah.
Ayah Al Ghazali juga mendukung pendidikan kedua anak laki-lakinya. Saat ayahnya melewati masa kritis sebelum wafat, Al Ghazali dan saudaranya pun dititipkan ke seorang sufi, Ahmad bin Muhammad Ar Razakani.
Al Ghazali dan saudaranya pun digembleng dan diajari beragam keilmuan oleh seorang sufi tersebut. Akan tetapi, keduanya lalu belajar di madrasah saat bekal uang dari sang ayah habis.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun Al-Ghazali ditinggal sang ayah sejak kecil, tetapi secara tidak langsung ia dan saudaranya mendapat semacam jaminan pendidikan melalui bantuan teman sang ayah. Dengan demikian, tidak sah bila muncul anggapan bahwa keluarga Al-Ghazali tidak memberi pengaruh terhadap karier Al-Ghazali," tulis Fikri.