Dia memiliki keuntungan mengakses pendidikan karena lahir dari keluarga priyayi. Saat masih anak-anak, dia menimba ilmu di sekolah kelas satu bagi masyarakat non-eropa, Eerste Klasse School (EKS). Sekolah tersebut juga berisikan dengan murid-murid yang cerdas.
Dewi Sartika sudah tidak hidup bersama kedua orang tuanya sejak kedua orang tuanya diasingkan di Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dewi Sartika diasuh oleh pamannya yang bernama Aria, dia adalah kakak kandung dari ibunya sekaligus Patih di daerah Cicalengka.
Dari pamannya, dia belajar mengenai kebudayaan Sunda serta mempelajari budaya dan adat bangsa barat dari Asisten Residen yang berkebangasaan Belanda. Meskipun kedua hal tersebut sangat bertentangan dengan peraturan era Hindia Belanda yang melarang perempuan mengenyam pendidikan.
Minat Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak kecil. Dia sering bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman sebayanya.
Saat melangkah ke dunia pendidikan, tantangan yang dihadapinya seolah tak terhingga. Akan tetapi tekad dan keyakinan yang kuat terkait pentingnya pendidikan bagi perempuan menjadi modal penting bagi perjuangannya.
Pada 1904, Dewi Sartika merintis sejarah pendidikan perempuan di Indonesia dengan mendirikan sekolah pertama yang dikenal sebagai "Sekolah Isteri" atau "Sekolah Dewi Sartika." Keputusan ini merupakan tonggak bersejarah, karena saat itu pendidikan bagi perempuan hampir tidak ada.