Raja Ali Haji mendapatkan pendidikan dasar dari ayahnya dan lingkungan Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Dia belajar langsung dari tokoh-tokoh terkemuka.
Tokoh ulama seperti Habib Syekh as-Saqaf, Syekh Ahmad Jabarti, dan Syekh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi berkontribusi besar pada pembentukan pemahaman agama dan budaya Raja Ali Haji.
Selain pendidikan di Pulau Penyengat, Raja Ali Haji juga mendapat pengalaman belajar di luar lingkungan Kesultanan. Ketika pergi ke Betawi dengan ayahnya untuk urusan kerajaan Riau-Lingga dengan pemerintahan Hindia Belanda, dia bertemu dengan Gubernur Jenderal Belanda dan memperluas pengetahuannya tentang kehidupan dan seni dari budaya Belanda.
Setelah menunaikan ibadah haji di Mekkah, Raja Ali Haji belajar dengan Daud bin Abdullah al-Fathani untuk memperdalam ilmu keislaman dan bahasa Arab. Kunjungannya ke Mesir juga memberinya kesempatan untuk menambah wawasan keilmuan.
Kembali ke Riau, dia aktif menghimpun para pakar agama dan menjalankan peran sebagai administrator kerajaan Riau-Lingga.
Raja Ali Haji menikah dengan Raja Safiah pada tahun 1830 dan mulai terlibat dalam pemerintahan. Dia menjadi penasihat Yang Dipertuan Muda selama tiga periode dan melantik Sulaiman Badrul Alamsyah sebagai Sultan Riau Lingga. Keahliannya dalam bidang hukum, agama, ketatanegaraan, dan tradisi Melayu membuatnya disegani dan dihormati.