Demokrasi, Pemersatu atau Pemecah Bangsa?

Anindita Trinoviana
Ilustrasi pemilih pemula dalam Pemilu 2024 (Freepik)

Tak sedikit pula yang mengatakan bahwa era reformasi merupakan sebuah era di mana demokrasi telah merdeka. Hal ini karena hak-hak media atau pers yang sebelumnya dilanggar menjadi lebih bebas, partai politik tidak dibatasi, serta adanya pesta demokrasi (pemilu) yang lebih demokratis dan tidak memihak. 

Masyarakat yang tidak terlalu berorientasi pada dunia politik turut merasakan euforia dari demokrasi. Salah satunya ketika pemilihan umum atau pemilu dilangsungkan. Pemilu menjadi sebuah ajang bagi masyarakat untuk berlomba ataupun berkompetisi untuk mengisi jabatan pada dunia politik. Pemilu merupakan sebuah simbol pesta demokrasi karena esensi dari pemilu itu sendiri merupakan representasi dari makna demokrasi.

Ajang ini menjunjung asas dari rakyat (calon-calon wakil rakyat adalah rakyat), oleh rakyat (para wakil rakyat dipilih oleh rakyat untuk dijadikan sebagai penyambung lidah), serta untuk rakyat (hasil kerja diorientasikan sepenuhnya untuk rakyat). Walaupun demikian, tak jarang pemilu dijadikan sebatas ajang empat tahun sekali yang tidak memikirkan kualitas pemilu itu sendiri. 

Sementara itu, kualitas pemilu dapat dilihat atau dinilai berdasarkan partisipasi oleh masyarakat secara sadar dan tanpa tekanan dan paksaan ketika melaksanakannya. Selain itu, juga dapat dinilai dari adil dan tidaknya, serta keterwakilan masyarakat yang merata dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada 14 Februari 2024 mendatang, pesta demokrasi pun akan dilaksanakan. Meski masih dalam hitungan bulan, euforia akan pesta demokrasi telah tercium hingga ke penjuru negeri. Namun sayangnya, hal ini juga dapat memberikan dampak negatif, salah satunya perpecahan bangsa. 

Pernyataan tersebut didasari oleh panasnya situasi politik saat ini yang sudah tidak memikirkan etik dalam berkampanye, walau tidak ada perintah langsung dari capres dan cawapres seluruh nomor urut. Namun, ada satu ataupun dua oknum yang memberikan percikan-percikan pertikaian, seperti dengan mempertanyakan latar belakang pendidikan dari salah satu cawapres, serta stigma buruk kepada salah satu capres akibat adanya konotasi negatif oleh masyarakat terhadap partai politik terkait.

Tak hanya itu, ada pula hal lainnya yang dapar menimbulkan pertikaian seperti penilaian kinerja dari salah satu capres yang pernah menjadi pejabat berwenang di Ibu Kota. Hal inilah yang menyebabkan beberapa golongan masyarakat merasa malas dan tidak mau ikut andil dalam pesta demokrasi. Padahal, salah satu indikator keberhasilan suatu negara dalam menjalankan demokrasi adalah keikutsertaan masyarakat di dalamnya.

Oleh:

Frania Audrey Marisya

Mahasiswa S1 Administrasi Fiskal Universitas Indonesia

Editor : Anindita Trinoviana
Artikel Terkait
Bisnis
13 jam lalu

Bank Mandiri Akselerasi Industri Kopi Nasional lewat Jakarta Coffee Week 2025

Bisnis
1 hari lalu

Menteri Imipas Panen Jagung di Sidoarjo, Dorong Ketahanan Pangan Nasional

Belanja
1 hari lalu

Cara Cerdas Belanja Kebutuhan Rumah: Jadi ShopeeVIP!

Bisnis
3 hari lalu

PLN dan Kementerian ESDM Salurkan BPBL bagi Ratusan Keluarga Prasejahtera di Minahasa

Music
2 hari lalu

Soundrenaline 2025 Siap Guncang Lima Kota, Gerakan Kolektif Musik dan Kreativitas 

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal