Tak sedikit pula yang mengatakan bahwa era reformasi merupakan sebuah era di mana demokrasi telah merdeka. Hal ini karena hak-hak media atau pers yang sebelumnya dilanggar menjadi lebih bebas, partai politik tidak dibatasi, serta adanya pesta demokrasi (pemilu) yang lebih demokratis dan tidak memihak.
Masyarakat yang tidak terlalu berorientasi pada dunia politik turut merasakan euforia dari demokrasi. Salah satunya ketika pemilihan umum atau pemilu dilangsungkan. Pemilu menjadi sebuah ajang bagi masyarakat untuk berlomba ataupun berkompetisi untuk mengisi jabatan pada dunia politik. Pemilu merupakan sebuah simbol pesta demokrasi karena esensi dari pemilu itu sendiri merupakan representasi dari makna demokrasi.
Ajang ini menjunjung asas dari rakyat (calon-calon wakil rakyat adalah rakyat), oleh rakyat (para wakil rakyat dipilih oleh rakyat untuk dijadikan sebagai penyambung lidah), serta untuk rakyat (hasil kerja diorientasikan sepenuhnya untuk rakyat). Walaupun demikian, tak jarang pemilu dijadikan sebatas ajang empat tahun sekali yang tidak memikirkan kualitas pemilu itu sendiri.
Sementara itu, kualitas pemilu dapat dilihat atau dinilai berdasarkan partisipasi oleh masyarakat secara sadar dan tanpa tekanan dan paksaan ketika melaksanakannya. Selain itu, juga dapat dinilai dari adil dan tidaknya, serta keterwakilan masyarakat yang merata dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada 14 Februari 2024 mendatang, pesta demokrasi pun akan dilaksanakan. Meski masih dalam hitungan bulan, euforia akan pesta demokrasi telah tercium hingga ke penjuru negeri. Namun sayangnya, hal ini juga dapat memberikan dampak negatif, salah satunya perpecahan bangsa.
Pernyataan tersebut didasari oleh panasnya situasi politik saat ini yang sudah tidak memikirkan etik dalam berkampanye, walau tidak ada perintah langsung dari capres dan cawapres seluruh nomor urut. Namun, ada satu ataupun dua oknum yang memberikan percikan-percikan pertikaian, seperti dengan mempertanyakan latar belakang pendidikan dari salah satu cawapres, serta stigma buruk kepada salah satu capres akibat adanya konotasi negatif oleh masyarakat terhadap partai politik terkait.
Tak hanya itu, ada pula hal lainnya yang dapar menimbulkan pertikaian seperti penilaian kinerja dari salah satu capres yang pernah menjadi pejabat berwenang di Ibu Kota. Hal inilah yang menyebabkan beberapa golongan masyarakat merasa malas dan tidak mau ikut andil dalam pesta demokrasi. Padahal, salah satu indikator keberhasilan suatu negara dalam menjalankan demokrasi adalah keikutsertaan masyarakat di dalamnya.
Oleh:
Frania Audrey Marisya
Mahasiswa S1 Administrasi Fiskal Universitas Indonesia