Untuk, dua jurnalis televisi lokal dan nasional mengambil gambar pada 23 Agustus 2019 berupa wawancara peserta aksi atas nama Lenonarde Ijie pada saat aksi menyalakan lilin di Kota Sorong. Aksi itu merespons aksi rasisme di Kota Malang dan Surabaya.
Hasil wawancara yang dilakukan dua orang jurnalis televisi terhadap peserta aksi tersebut kemudian diedit. Hasil editing itu kemudian beredar di media sosial dan grup-gurp WhatsApp dan memicu keresahan warga kerena isinya dinilai berisi ujaran kebencian dan propaganda.
Beredarnya video hasil editan itu membuat jurnalis dari berbagai platform terhambat melakukan tugas-tugas jurnalistik karena khawatir ada penolakan dari masyarakat. Selain itu, muncul laporan adanya kekerasan yang terjdi pada jurnalis belakangan ini.
”Yang akan kami lakukan adalah turun ke lapangan untuk mendalami dugaan kekerasan yang didapati teman-teman wartawan. Membuat kronologi, menemui pihak-pihak terkait, termasuk saksi mata. Bukti-bukti juga,” ucapnya.
Agung menegaskan, jika benar video yang tersebar itu merupakan karya jurnalistik, maka yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi dengan Undang-Undang (UU) Pers. Sebaliknya jika hal itu muncul di media sosial maka akan terjerat sanksi UU ITE.
"Kami mesti memastikan dahulu, apakah itu dilakukan dalam posisi wartawan dalam kerjanya atau bukan. Jangan salah. Ada kalanya betul profesinya wartawan, tapi dia tidak melakukan bekerja jurnalistik, tapi melakukan pelanggaran," katanya.