Penegakan hukum wajib jadi tulang punggung. Satgas pangan, kepolisian, dan KPPU tidak boleh hanya melakukan “operasi pasar” yang bersifat seremonial. Penimbun dan pengecer nakal harus ditindak nyata: pencabutan izin, denda besar, hingga proses pidana bila ada unsur korupsi dan kolusi. Jika kebocoran subsidi menyentuh keuangan negara, jalurnya sudah jelas, ranah tipikor.
Di level kebijakan, wacana “satu harga LPG 3 kg” mulai 2026 patut dikaji, tapi jangan asal jalan. Tanpa sistem subsidi tepat sasaran, satu harga hanya akan menambah beban rakyat di daerah miskin. Transparansi biaya logistik, sistem voucher digital, dan mekanisme darurat saat harga global melonjak mutlak diperlukan.
Intinya sederhana. Kalau HET di kertas Rp12.750 tapi rakyat harus bayar Rp40 ribuan, itu bukan mekanisme pasar. Itu adalah kegagalan negara menegakkan aturan. Rakyat tidak boleh terus jadi korban “ekonomi politik tabung melon.” Dukungan kepada Purbaya bukan soal personal, melainkan dukungan terhadap logika publik. Subsidi harus sampai ke rakyat, bukan tercecer di jalan dan masuk kantong perantara.
Negara punya pilihan, membiarkan dapur rakyat (emak-emak) terbakar mahalnya harga, atau menegakkan hukum, data, dan distribusi yang adil. Suara Purbaya sudah menyalakan alarm. Sekarang saatnya pemerintah menjawab dengan tindakan nyata.