Didi Irawadi Syamsuddin
Pengacara, Anggota DPR 3 Periode (2009-2024)
HARGA tabung gas melon 3 kg adalah potret kecil dari masalah besar: tata kelola subsidi yang bocor, distribusi yang tak terkendali, dan pengawasan yang lemah.
Secara resmi, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp12.750 per tabung. Tapi di lapangan, warga, utamanya emak-emak harus merogoh kocek Rp30.000 hingga Rp50.000. Di dapur rakyat kecil, inilah bentuk “inflasi terselubung” yang lebih menyakitkan daripada angka di tabel statistik.
Dalam kondisi seperti itu, pernyataan Menteri Purbaya Yudhi Sadewa tentang harga keekonomian elpiji melon—sekitar Rp42.000 sebelum subsidi—adalah alarm penting. Bukan sekadar debat metodologi dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, melainkan ajakan agar pemerintah serius membenahi data, menghentikan permainan, dan jujur soal beban subsidi. Suara Purbaya adalah suara akal sehat: rakyat perlu transparansi, bukan angka yang disamarkan.
Masalah utama ada di hilir: distribusi. Selama bertahun-tahun, tiga penyakit menghantui tabung melon. Pertama, subsidi bocor ke kelompok yang tidak berhak, termasuk usaha menengah dan industri. Kedua, rantai distribusi panjang membuka ruang markup berlapis-lapis, dari agen hingga pengecer. Ketiga, praktik mafia—penimbunan, oplosan, dan penguasaan kuota—yang membuat harga melon membengkak sebelum sampai ke kompor rakyat.
Solusinya jelas, negara harus hadir dengan tiga langkah berlapis. Pertama, audit distribusi secara digital. Setiap tabung mesti bisa dilacak dari Pertamina hingga pangkalan. Dashboard publik per kabupaten/kota perlu ditampilkan agar rakyat bisa memantau ketersediaan dan harga harian.
Kedua, penerapan verifikasi berbasis NIK di pangkalan, dengan pembatasan pembelian per keluarga. Ini akan menutup ruang bagi penyelewengan kuota. Ketiga, reformasi logistik: potong rantai distribusi tak perlu, tetapkan margin wajar, dan siapkan stok cadangan agar harga stabil di musim puncak.