Namun, lanjutnya, skema itu berubah menjadi business to government (B2G) berdasarkan Perpres Nomor tentang Perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
"Kemudian di peraturan terbaru itu justru kemudian disebutkan bahwa negara boleh memberikan uang melalui penanaman modal dalam negeri, dicantumkan dengan tegas artinya negara dilibatkan, APBN boleh dikeluarkan di situ," kata dia.
Dia juga menyoroti buku yang dikerluarkan PT KAI. Dia mengatakan buku itu secara detail menjelaskan alasan Indonesia setuju menggandeng China untuk menggarap proyek Whoosh.
Ubed menjelaskan, salah satu syaratnya yakni tidak ada jaminan dari pemerintah dan APBN. Namun, kata dia, skema itu tiba-tiba berubah.
"Itu tertulis di buku itu, jadi clear ini aturan resmi bahwa tidak ada intervensi negara di dalam mengeluarkan untuk membangun kereta cepat itu, tiba-tiba berubah. Nah perubahan ini membuat tanda tanya," kata dia.
Sementara indikator kedua, lanjut Ubed, yakni semula proyek itu akan digarap bersama Jepang. Bahkan, Jepang telah melakukan studi kelayakan dengan menawarkan bunga sebesar 0,1 persen. Namun di tengah jalan, lanjutnya, pemerintah menggandeng China dengan bunga 2 persen yang meningkat menjadi 3,4 persen.
Ubed berkesimpulan, kedua indikator itu menimbulkan pertanyaan. Dia pun mempertanyakan hal di balik keputusan tersebut.