Yadi menerangkan, alasan IJTI meminta pasal tersebut dicabut antara lain: Pertama, menghindari adanya intervensi pemerintah dalam kemerdekaan Pers. Kedua, pengaturan oleh PP mengenai jenis denda, besaran denda, tata cara dan mekanisme mengenai sanksi administratif membuka intervensi terhadap kebebasan Pers.
Karena itu, kata dia, IJTI mengapresiasi langkah pemerintah dan DPR yang dinilai masih menunjukan komitmenya untuk menjaga kemerdekaan pers di Tanah Air.
Kendati demikian, IJTI mengingatkan masih ada sejumlah pasal yang berpotensi membungkam kebebasan pers. Pasal tersebut tertuang dalam RKUHP. Setidaknya ada 10 pasal yang berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia.
“Keberadaan pasal-pasal karet di RKUHP akan mengarahkan kita pada praktik otoritarian seperti di era Orde Baru yang menyamakan kritik pers dan pendapat kritis masyarakat sebagai penghinaan dan ancaman kepada penguasa,” tutur Yadi.
Untuk itu, IJTI kembali menyatakan sikap tegas agar pemerintah dan DPR segera mencabut 10 pasal di RKUHP yang berpotensi membungkam kebebasan pers.