“Kita dihadapkan tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi terhadap adaptasi kebiasaan baru,” ujar Danrivanto yang juga Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi-Komunikasi dan Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum Unpad ini, Selasa (16/5/2020).
Dia menegaskan, kebijakan dan legislasi eksisting pada kenyataannya belum berlaku dengan proporsional bagi para penyedia aplikasi layanan film/video virtual dan media sosial terutama pematuhan legislasi penyiaran, film, periklanan di Indonesia. Tidak adanya pengaturan ini bukan tanpa konsekuensi. Apalagi mereka tidak hanya sekadar menyediakan layanan.
“Para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing dan media sosial juga melakukan kegiatan pengumpulan data (data collecting); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data behavior analyzing) dari publik Indonesia. Data pribadi dari pengguna aplikasinya kemudian dimonetisasi menjadi keuntungan korporasi dan daya tarik bagi investor,” ucap Danrivanto
Dia mengingatkan, Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di Gedung Parlemen pada 16 Agustus 2019 menegaskan bahwa Indonesia harus siap dalam menghadapi kolonialisme digital (data as new oil) dengan artikulasi yang sangat bernas. Jokowi menegaskan, data merupakan jenis kekayaan baru bangsa Indonesia. Data kini lebih berharga dari minyak.
“Karenanya menurut Presiden Jokowi bahwa Indonesia harus mewujudkan kedaulatan data (data sovereignty). Setiap hak warga negara harus dilindungi oleh legislasi dalam adaptasi kebiasaan baru sebagai amanat kedaulatan virtual,” kata dia.