“Penyaluran pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan dan pemulihan pasca bencana diselenggarakan bersama secara terpadu antara Kementerian Kehutanan dengan instansi terkait pada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan berbagai unsur aparat penegak hukum (APH),” jelasnya.
Laksmi menjelaskan pendekatan bersama merupakan langkah penting untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan memastikan kayu benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Selain mengatur pemanfaatan kayu hanyut, pemerintah juga mengambil kebijakan tegas untuk mencegah praktik penyelewengan di tengah situasi darurat.
“Kegiatan pemanfaatan dan pengangkutan kayu bulat yang berasal dari lokasi kegiatan pemanfaatan hutan di 3 (tiga) Provinsi tersebut dihentikan sementara sampai dengan ketentuan lebih lanjut,” ungkap Laksmi.
Penghentian sementara itu dimaksudkan untuk menghindari potensi penebangan liar yang disamarkan sebagai kayu hanyut, memperjelas sumber materiel kayu yang beredar, dan memastikan fokus aparat dan masyarakat tertuju pada penanganan bencana.
Langkah yang ditempuh Kemenhut menunjukkan kayu hanyut tidak lagi dianggap sekadar materiel sisa bencana. Dalam konteks pemulihan, kayu tersebut menjadi aset yang dapat mempercepat rekonstruksi, sekaligus solusi praktis di tengah terbatasnya akses logistik ke wilayah terdampak.
Namun, pemanfaatannya tetap berada dalam koridor pengawasan yang ketat. Dengan pendekatan kemanusiaan yang disertai prinsip keterlacakan, pemerintah berupaya memastikan setiap batang kayu yang digunakan benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat, bukan menjadi peluang untuk pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan di tengah musibah.