Yuari Prayanto
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, STIKOM InterStudi, Analis Komunikasi Digital
PEMERINTAH pusat kerap berupaya menjelaskan kebijakan publik dengan berbagai cara: konferensi pers, iklan layanan masyarakat, hingga unggahan di media sosial. Namun di era digital yang serba cepat ini, pesan yang disampaikan justru sering menimbulkan kebingungan baru, terutama di kalangan generasi Z.
Bagi Gen Z, pesan pemerintah kerap terdengar seperti “bahasa orang tua” yang panjang, formal, dan teknokratis. Mereka yang terbiasa mencerna informasi visual dan singkat di TikTok atau Instagram, kehilangan minat pada narasi resmi yang kaku. Hasilnya bukan pemahaman, melainkan jarak dan sinisme.
Kesenjangan ini bukan sekadar soal usia, tetapi soal cara berpikir dan berkomunikasi. Gen Z tumbuh dalam budaya digital di mana kecepatan, keaslian, dan interaktivitas lebih penting daripada protokol atau hierarki. Sementara gaya komunikasi pemerintah masih bertumpu pada model satu arah, top-down, dan defensif. Di titik ini, persoalannya bukan hanya apa yang disampaikan, melainkan bagaimana pesan itu dibangun dan dihidupi.
Kegagalan Membaca Generasi Digital
Polemik sosialisasi UU Cipta Kerja beberapa tahun lalu menjadi contoh klasik. Alih-alih menenangkan publik, komunikasi pemerintah justru menyalakan gelombang protes di dunia maya. Penjelasan yang rumit dan kurang transparan menimbulkan persepsi negatif bahwa pemerintah menyembunyikan sesuatu. Presiden bahkan menegur menterinya karena komunikasi publik yang “sangat jelek”.
Fenomena serupa berulang dalam kasus pengibaran bendera One Piece oleh mahasiswa, yang semestinya dibaca sebagai ekspresi simbolik khas anak muda. Namun sebagian pejabat menanggapinya sebagai ancaman. Reaksi berlebihan ini menunjukkan bahwa sebagian pengambil kebijakan belum memahami bahasa simbolik generasi baru, bahasa yang sarat metafora, humor, dan ironi.
Bagi Gen Z, komunikasi bukan sekadar penyampaian pesan, melainkan cara membangun identitas bersama. Mereka menghargai transparansi, spontanitas, dan keberanian mengakui kesalahan. Pemerintah yang terlalu kaku dan penuh jargon birokratis mudah dianggap tidak jujur atau tidak relevan dengan realitas mereka.