JAKARTA, iNews.id - Tanggal 28 Maret 1981 pukul 10.10, pesawat Garuda dengan nomor penerbangan 206 DC-9 Woyla dibajak di udara. Pesawat yang seharusnya mendarat di Bandara Polonia Medan dari Jakarta dan sempat transit di Palembang, tiba-tiba mengubah arah menuju Bandara Bayan Lepas, Penang, Malaysia sebelum mendarat di Bandara Don Mueang, Thailand pada pukul 17.05 waktu setempat.
Kabar itu segera sampai di telinga petinggi ABRI yang sedang melaksanakan latihan gabungan besar-besaran di Ambon, Maluku. Wakil Panglima ABRI, Laksamana TNI Sudomo yang berada di basis mendapat perintah dari Menteri Hankam, Jenderal TNI M Yusuf untuk segera melakukan penanggulangan. Sudomo dibantu Letjen TNI LB Moerdani yang langsung meninggalkan Ambon menuju Jakarta.
Dalam buku "Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus", Letkol Sintong Panjaitan pun menerima perintah dari Komandan Kopassandha (Kopassus saat ini) Brigjen TNI Yogie S Memet untuk bersiap melakukan operasi pembebasan sandera. Sintong tak ikut latihan di Ambon karena mengalami patah kaki dan harus menggunakan kruk.
Namun kabar itu membuat Sintong lupa akan kruknya dan segera memilih 30 prajurit terpilih serta terbaik untuk melakukan operasi pembebasan sandera.
Kopassus kemudian segera meminta Garuda menyiapkan jenis pesawat yang sama. Kemudian para prajurit Kopassus yang telah dipilih tersebut melakukan latihan di hanggar Garuda. Berbagai persiapan matang dilakukan dalam waktu yang singkat, termasuk memastikan para prajurit terpilih bisa membuka pintu pesawat dari luar serta memperkirakan tangga yang akan digunakan.
Tanggal 29 Maret 1981 lewat tengah hari, Letjen Benny Moerdani memberikan briefing kepada tim termasuk memperlihat rompi antipeluru dan senjata yang digunakan dalam operasi pembebasan sandera. Moerdani memerintahkan prajurit tidak menggunakan M-16 karena dikhawatirkan akan membuat pesawat meledak. Dia memerintahkan tim menggunakan senapan serbu H&K MP5 SD2.