Malangnya, berdasarkan penuturan keluarga Tuti kepada Komnas HAM, setelah bekerja di sana pun dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya. “Tuti mengalami pelecehan seksual oleh majikan, dan ekspresi kekerasannya merupakan akumulasi kemarahan maupun pertahanan yang dapat dia lakukan,” kata Taufiq di Jakarta, Rabu (31/10/2018).
Dakwaan eksekusi mati yang telah diterima Tuti sejak 2010 pun tak hanya berdampak pada dirinya tetapi juga keluarganya di Tanah Air.
Komnas Perempuan yang sejak 2016 memantau dampak hukuman mati pada pekerja migran dan keluarganya, termasuk bertemu dengan keluarga Tuti, menemukan fakta bahwa dampak dakwaan Tuti membuat kondisi keluarganya di Majalengka karut-marut.
Ayah Tuti misalnya, mengidap sakit jantung, berhenti bekerja sebagai juru kunci, selalu merasa bersalah dan saling menyalahkan antarkeluarga mengapa dulu Tuti dibolehkan bermigrasi ke Saudi. Ibu Tuti juga mengalami stigma sosial, isolasi diri, hingga pengajian pun hanya dilakukan di dalam rumah.
“Belum lagi trauma menonton TV, menjadi sasaran eksploitasi oknum yang berjanji akan menyelamatkannya, takut kepada media dikarenakan khawatir sikap atau pernyataan keluarga yang ter-ekspos di media akan menghambat upaya pemaafan,” ujar Taufiq.