Karier HR Dharsono ibarat roller-coaster. Di masa awal Orde Baru, tentara yang dikenal tegas dan pemberani ini salah satu pendukung kuat Soeharto. Namun, mantan komandan Batalyon Siluman Merah itu belakangan menjadi garda terdepan kelompok penentang Soeharto.
Dharsono dicap sebagai bagian dari Petisi 50, sebuah dokumen yang memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya. Selain Dharsono, beberapa nama sentral di balik petisi yang dikeluarkan pada 5 Mei 1980 tersebut antara lain Letjen TNI (Purn) Kemal Idris, AM Fatwa, Letjen TNI KKO (Purn) Ali Sadikin, hingga Jenderal Pol (Purn) Hoegeng Imam Santoso.
Menurut Panglima TNI (Purn) Jenderal TNI M Jusuf, HR Dharsono sebagaimana Letjen TNI (Purn) M Jassin sesungguhnya tidak termasuk orang yang menandatangani Petisi 50. Namun kedekatannya dan juga suara-suara kritisnya terhadap Soeharto menjadikan dia termasuk musuh Orde Baru.
Buku ‘Pengadilan Ad Hoc Tanjung Priok, Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional’ menuliskan, Dharsono mulai diincar oleh pemerintah setelah ada laporan intelijen bahwa dia dan AM Fatwa merencanakan suatu gerakan di sebuah musala dekat rumah Fatwa pada 18 September 1984. Tapi menurut sumber lain, Pak Ton sudah tidak disenangi oleh Pak Harto sejak ucapan-ucapannya yang kritis.
“Dia secara mendadak diberhentikan sebagai Sekjen ASEAN meskipun tidak terlibat menandatangani Petisi 50, tetapi ia ikut menandatangani Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok,” kata AM Fatwa dalam buku tersebut.
Dharsono ditangkap setelah peristiwa Tanjung Priok pada 1984 dan diadili pada 1986. Tentara yang juga akrab disapa Bang Kalon itu dihukum 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi dalam banding menjadi 7 tahun penjara.
“Dia satu-satunya mantan perwira tinggi TNI yang diadili dan dihukum,” kata Jenderal Jusuf.