Adin juga mengatakan bahwa penerapan sanksi administratif ini merupakan perwujudan keadilan restoratif (restorative justice). Pelaku pelanggaran yang menyebabkan kerugian ataupun kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan dikenakan sanksi administratif untuk memperbaiki kerusakan atau kerugian tersebut.
Sanksi administratif juga dipandang lebih efektif, mengingat waktu penyelesainnya relatif cepat yaitu paling lambat 21 hari, sedangkan untuk pidana, waktu penyidikan saja sampai dengan 30 hari, belum termasuk proses lanjutan seperti penuntutan sampai dengan inkracht.
“Dari sisi waktu penyelesaian, sanksi administratif ini bisa selesai paling lama 21 hari, dan pelaku usaha dapat langsung melanjutkan kegiatan usaha apabila sudah melaksanakan kewajibannya,” tutur Adin.
Terkait dengan protes pelaku usaha yang menginginkan agar diberikan teguran terlebih dahulu. Adin menuturkan bahwa tata cara pengenaan sanksi administratif berupa teguran telah diatur di Pasal 9 Permen KP Nomor 31 tahun 2021, di mana hanya diberikan apabila baru pertama kali melakukan pelanggaran, dan belum menimbulkan dampak berupa kerusakan dan/atau kerugian sumber daya kelautan dan perikanan.
“Itu kriterianya, artinya kalau kemudian dikenakan denda, hal tersebut dilaksanakan berdasarkan kriteria yang jelas, dan perlu dipahami bahwa denda akan disetorkan langsung ke kas negara dan akan disalurkan kembali kepada nelayan dalam bentuk program-program pembangunan,” ucap Adin.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah berkomitmen untuk mewujudkan tata kelola perikanan yang berkelanjutan melalui program Penangkapan Ikan Terukur dan prinsip Ekonomi Biru.
Penerapan sanksi administratif menjadi salah satu strategi untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, sehingga dapat mendatangkan keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan pelaku usaha.
(CM)