Kekesalan dan kesedihan Merdian terpancar dari wajahnya yang tampak pilu saat menceritakan kesulitan yang dialaminya. Dengan mengungkapkan pengalamannya ke publik, dia berharap dapat membuka jalan lebih baik bagi para keluarga korban mendapatkan ganti rugi yang layak.
“Setelah saya baca dokumen R&D, (Lion Air dan Boeing) itu seperti mengibaratkan suami saya dan korban lainnya seperti bagasi. Saya dan keluarga berharap ini adalah momentum untuk mempercepat pembayaran ganti rugi dari pihak maskapai,” tuturnya.
Kuasa hukum Merdian dan 10 keluarga korban lainnya, Harry Panto, menilai poin-poin dalam R&D itu ada yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tepatnya pada pasal 141 ayat 3.
“Dalam ayat 3 itu dijelaskan bahwa ahli waris atau korban kecelakaan udara yang dimaksud dalam ayat 2 dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan pengganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, poin yang terdapat di dalam dokumen R&D itu jelas tidak sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. Karena itu, kantor hukum Advokat Kailimang dan Ponto bersama kelompok advokat di AS melayangkan gugatan terhadap Boeing Company. CEO Boeing Dennis Muilenburg pun sudah meminta maaf atas kecelakaan pesawat Lion Air yang terjadi di Perairan Karawang, Jawa Barat, pada akhir Oktober 2018 itu.
Permintaan maaf bos Boeing itu, menurut Harry, juga memperkuat hak-hak keluarga korban untuk memperoleh ganti kerugian yang pantas dari produsen pesawat. “Untuk memperjuangkan hak-hak keluarga korban, untuk itu (kami) menggugat Boeing Company. Boeing perlu segeralah menyelesaikan klaim dari keluarga yang terluka karena kehilangan orang-orang terkasih,” tuturnya.