Padel, Budaya Populer Hasil Negosiasi di Media Sosial

Firman Kurniawan S
Firman Kurniawan S (Foto: Dok Pribadi)

Dr Firman Kurniawan S

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS

JIKA ada satu kegandrungan yang marak diperbincangkan -utamanya di kalangan Gen Milenial dan Gen Z- adalah padel. Bukan sebatas jadi olahraga, perbincangan intensif itu mengubahnya jadi budaya yang mampu merepresentasikan terbaruinya status peserta. Status tak ketinggalan, mengikuti perilaku terkini. 

Dalam pengamatan sepintas, olahraga ini identik dengan tenis. Tak jarang pula yang menyebutnya seperti squash. Identik dengan tenis, jika diperhatikan dari peralatan yang digunakan, raket tanpa senar, bola, pakaian yang dikenakan olahragawan. Juga aturan permainan hingga bentuk lapangannya. 

Seperti squash, jika diperhatikan dari tujuan gerakan pesertanya, menggilir bersarangnya pukulan pada bola karet, untuk diantisipasi lawan. Padel dalam kesejatiannya menurut Jake Jones, 2024, pada “The Rise of Padel and Why it's so Popular”, adalah olahraga dengan raket yang aturan penilaiannya serupa tenis lapangan. Perbedaan hanya pada ukuran lapangannya -sekitar sepertiga lebih kecil dari lapangan Tenis- dan pemain yang ditata dalam formulasi ganda di lapangan tertutup, mirip squash. 

Dengan bentuk lapangan ini, pemain dapat memantulkan bola –yang ukurannya lebih kecil daripada bola tenis- ke dinding. Permainannya didahului servis, yang direbahkan di bawah lengan. Olahraga yang terhitung baru ini, popularitasnya sangat cepat. 

Javier Romero –seorang penggemar, pemain, pelatih bersertifikat, juga profesional di industri olahraga padel- 2025, dalam “Why the Growth of Padel Is Unstoppable”, dengan mengutip “The International Padel Federation’s (FIP) 2024 World Padel Report”, menyebut terjadi peningkatan 240% di lapangan padel seluruh dunia, dalam periode tahun 2021 hingga 2024. 

Bahkan laju peningkatannya mencapai 600% di seluruh lapangan, kecuali di Spanyol –yang perkembangannya jauh lebih massif- dibanding negara lain. Ditambahkannya pula, jumlah pemain global tak kurang dari 30 juta di seluruh dunia. Ini dengan jumlah lapangan yang terus bertambah. Romero mengutip gambaran perkembangan itu dari “Playtomic’s 2024 Global Padel Report”, yang menggarisbawahi ledakan infrastruktur jadi indikator yang jelas terhadap peningkatan antusiasme adopsi padel.

Popularitas padel juga melanda Indonesia. Gambarannya dapat disimak di antaranya, dari tulisan Mohammad Resha Pratama, 2023, dalam "PBPI dan Upaya Memperkenalkan Padel di Indonesia". Penulis ini menyebut, padel merupakan olahraga raket yang dikembangkan Enrique Corcuera di Acapulco, Meksiko, pada 1969. Antusiamenya kemudian menyebar ke negara-negara Amerika Latin, seperti Meksiko, Argentina. Dan menyebar sangat pesat ke Eropa, terutama di Spanyol. 

Di Indonesia, padel diperkenalkan mantan pelatih Tim Nasional Indonesia, Simon McMenemy dan Eric Entrena, sekitar tahun 2020-an. Pengenalan yang kemudian diikuti terbangunnya lapangan-lapangan padel di Jakarta, Bali, maupun Yogyakarta, berikut berkembanganya komunitas-komunitas penggemar yang antusias. 

Hari ini posisi Indonesia dalam olah raga yang membudaya ini -mengutip Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) maupun The International Padel Federation (FIP)- ada di peringkat ke-6 Asia Tenggara dan ke-29 dunia. Indonesia tak ketinggalan, dalam kepesatan perkembangan padel.

Menyimak seluruh kronologi, konteks perkembangan, maupun antusiasme adopsi Padel yang mengglobal cepat, ada beberapa realitas yang dapat disimak. Pertama: Padel adalah anak kandung popular culture, budaya populer. Budaya pop ini, ciri utamanya, bentuknya sangat cair, perubahannya cepat mengikuti kemauan masyarakat penghayatnya. 

Unsur cepatnya berubah itu, disokong oleh jaringan kehendak masyarakat yang menyiratkan, budaya pop terbentuk tanpa syarat yang rumit. Bahkan tak ada. 

Saat muncul musik populer, pembentukannya tak selalu melibatkan masyarakat yang paham tangga nada, mahir main alat musik, bahkan tak harus disusun berdasar sistematika pengetahuan musik yang memadai. Cukup memahami selera massa, musik pop yang digemari dapat dihadirkan. 

Fenomena kegandrungan pada Gangnam Style yang mengglobal, dapat jadi ilustrasi keadaan ini. Demikian pula dengan ‘ilmu pengetahuan’ populer, pintu masuk pembentukannya bisa dari mana saja. Rasa ingin tahu, tak hendak tertinggal dari perbincangan ramai, atau munculnya rasa penasaran oleh bertubi-tubinya suatu pembahasan. 

Editor : Anton Suhartono
Artikel Terkait
Internet
13 jam lalu

Australia Terapkan Aturan Anak di Bawah 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial, Kapan Indonesia? 

Megapolitan
2 hari lalu

Pramono Yakin Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta Terinspirasi Tontonan Medsos, Bukan Bullying

Internasional
3 hari lalu

Australia Larang Medsos untuk Remaja Bulan Depan, Platform Bisa Didenda Rp544 Miliar

Internasional
3 hari lalu

Australia Bakal Jadi Negara Pertama di Dunia Larang Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal