Romero kurang lebih menyebut, aspek sosial yang menjadi ciri padel, merupakan pendorong utama kepopuleran olah raga ini. Karakter sosialnya tersebar melalui fasilitas-fasilitas maupun klub-klub yang digunakan sebagai pusat interaksi sosial. Berlangsungya interaksi sosial, jadi penentu penyebaran padel.
Adapun Larson menyebut, intensitas penggunaan media sosial -sebagai bentuk aplikasi penggunaan internet- turut mengubah budaya pop secara signifikan. Medium ini memfasilitasi penggunanya, untuk berbagi dan membuat konten
instan. Interaksinya yang aktif, membangkitkan berpartisipasi dalam penggunaannya. Maka melalui media sosial, olahragawan padel membagikan aktivitasnya sebagai konten. Penyebarannya berimplikasi menciptakan persepsi yang kuat, sebagai olahraga yang digemari di seluruh dunia. Bahkan jadi budaya hari ini.
Seluruhnya kemudian -menganggap padel hanya sebatas olahraga dan karenanya cara menelaahnya identik seperti pada kembarannya, tenis maupun Squash -tak akan mampu menyingkap antusiasme adopsi padel, ke seluruh dunia.
Faktor media sosial yang jadi sarana penampil daya tarik massanya, menggubah Padel jadi budaya populer. Dengan menyertakan peran media sosial, padel adalah hasil dari negosiasi realitas. Negosiasi yang berliku dan butuh waktu, tentang yang dianggap layak, penting, dapat diterima maupun ditolak masyarakat. Walaupun prosesnya tak selalu disadar.
Maka demikian pula dengan budaya-budaya lain yang dilahirkan media sosial. Ini termasuk pemimpin populer, sejarah populer –selain olahraga, musik dan ilmu pengetahuan populer yang telah dibahas di atas- berpijak pada negosiasi. Termasuk jika yang hendak dipopulerkan, adalah diri sendiri. Tak terdengar asing, kan?