“Berkenaan dengan formula e, KPK kan mesti tahu kalau formula e(dua tahun) tak dilaksanakan itu kenapa? Sejauh yg saya mengerti kegiatan itu terhenti dan atau dihentikan karena hal yang berada di luar kendali manusia, yakni pandemi,” tuturnya.
“Oleh karena hal tersebut di luar kendali manusia maka pemda juga tak bisa dimintai pertanggung jawaban, karena hal yg menggagalkan peristiwa itu(formula e) bukan hal yang disebabkan oleh manusia melainkan sebab alamiah yang gak bisa diprediksi secara objektif, akibat hukumnya adalah siapun itu tak bisa dibebani tanggung jawab hukum,” katanya.
Lalu terkait dana pinjaman bank yang digunakan, apapun pinjaman tersebut akan membenai APBD dan apabila memang terjadi penyalahgunaan maka sistem keuangan daerah memiliki hak untuk menuntut ganti rugi ke penyelenggara dan itu juga harus didasari oleh temuan Bada Pemeriksa Keuangan.
“Lalu terkait pinjam meminjam di bank, apapun itu akan menjadi beban apbd, nah kalau terjadi apbd kan diaudit oleh BPK, asumsikan saja ada kekurangan penyimpangan dalam penggunaan dana itu, maka sistem keuangan negara kita mengatur bahwa pemda berhak menuntut ganti rugi pada mereka yang mengakibatkan kerugian tersebut, dan itu akan sangat ditentukan pada fakta di lapangan nanti,” katanya
“Katakanlah dia udah bayar comitment fee lalu peristiwanya gak terjadi apakah itu salah? Sitem hukum kita bisa menuntut ganti rugi kepada penyelenggara melalui tim penuntut ganti rugi yang dibentuk gubernur sekda dan inspektorat, jadi gak bisa itu langsung dikenakan unsur pidana karena sistem keuangan pemda itu ada sistem menuntut ganti rugi dan itu harus didasari temuan BPK, bukan kayak KPK begini,” lanjutnya.
Maka dari itu atas beberapa hal tersebut, Margarito menyarankan KPK untuk menghentikan pengusutan Formula E karena nantinya juga akan mempengaruhi asumsi publik ke KPK, di mana publik akan menilai KPK sebagai alat politik golongan tertentu.
“Oleh karena itu berhenti deh KPK ini, sehingga publik ini lantas menilai bahwa KPK ini disuruh siapa? Dia jadi alat politik siapa? Karena pabila ukurannya hanya untuk ramai, maka kurang ramai apa kasus PCR? Kurang rame apa kereta cepat? Kenapa KPK diam seribu bahasa terkait kasus-kasus ini?,” tuturnya.