“Yang terbuka itu dibiarkan, ada 15 kepala daerah, ada menteri dan ada macam-macam. Artinya, sudah ada kecenderungan untuk apa pun (dugaan pelanggaran) yang berasal dari oposisi itu cepat sekali (diproses oleh penyelenggara pemilu). Termasuk ke kontainer (hoaks tujuh kontainer surat suara tercoblos di Tanjung Priok, Jakarta Utara), itu tugasnya Bawaslu bukan KPU,” ujar Chusnul.
Sebelumnya, Anies menjalani pemeriksaan oleh Bawaslu. Pemeriksaan itu terkait dengan aksi sang gubernur DKI mengacungkan dua jari pada akhir pidatonya saat Konferensi Nasional Gerindra di Sentul, Jawa Barat, Desember lalu.
“Ada 27 pertanyaan yang diberikan (Bawaslu). Prosesnya mulai jam satu (13.00 WIB) selesai jam dua lebih seperempat (14.15 WIB), dan sesudah itu lebih banyak mengecek penulisan berita acara klarifikasi. Jadi, tadi disebutnya adalah permintaan klarifikasi,” ungkap Anies usai menjalani pemeriksaan di Kantor Bawaslu, Jakarta, Senin (7/1/2019).
Mantan rektor Universitas Paramadina itu mengaku mendapatkan pertanyaan seputar kegiatan Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul. Ketika itu, Anies berkesempatan memberikan kata sambutan dan sempat mengacungkan pose dua jari—yang ditafsirkan sebagai bentuk dukungan kepada pasangan capres–cawapres nomor urut 02.
“Mereka (Bawaslu) menyampaikan videonya lalu bertanya seputar itu dan saya jelaskan seperti apa yang ada di video itu, saya sampaikan bahwa tidak lebih dan tidak kurang sehingga tidak perlu saya menambahkan. Karena apa yang terucap di situ jelas kalimatnya, bisa di-review dan Bawaslu bisa menilainya. Itu aja sih,” ujarnya.
Sebelum kasus Anies, dua menteri Kabinet Kerja juga pernah dilaporkan ke Bawaslu lantaran aksi mereka mengacungkan satu jari sebagai simbol mendukung capres tertentu di dalam forum Pertemuan Tahunan World Bank dan IMF di Bali, Oktober 2018. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, Bawaslu justru menilai aksi terang-terangan kedua menteri itu bukan sebagai pelanggaran pemilu.