Berbagai program yang dilaksanakan, membutuhkan penanganan sumber daya manusia yang intens. Keberadaan mereka, jika tidak terintegrasi cenderung menyebabkan inefisiensi yang cukup parah. Beban kerja setiap orang seringkali tidak bisa diperhitungkan sejak awal. Akibatnya, anggaran setiap program membengkak untuk biaya sumber daya manusia, baik yang dilakukan secara legal maupun tidak. Godaan keserakahan juga kerap muncul di sini.
Seperdelapan dana amil dari penghimpunan dana keagamaan atau 10 persen dana sosial, yang memang diperuntukkan bagi operasional lembaga, mulai kedodoran dan pada gilirannya akan menggerus dana lainnya. Banyak lembaga menyiasatinya dengan berbisnis. Sayangnya, bisnis memang tidak mudah. Jika tidak beres mengelolanya, justru pemborosan bisa semakin parah. Dari mana lagi menutupinya, selain dari dana penghimpunan? Akibatnya, dana program pun digerogoti.
Pada kasus ACT yang mencuat baru-baru ini, laporan resminya menyebutkan potongan sebesar 13,7 persen, melampaui aturan yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 1980 soal besaran pemotongan oleh lembaga sosial, sebanyak-banyaknya 10 persen. Laporan resmi itu juga berbeda dari laporan Tempo, yang menyebut angka mencapai 30 persen.
Sebagai pengamat sekaligus aktivis di dunia yang sama, saya concern pada dua hal, transparansi dan akuntabilitas. Sebagian besar lembaga biasanya sudah melakukan beberapa hal untuk menunjukkan transparansinya, tapi belum banyak menutup lubang akuntabilitasnya. Ini yang seharusnya menjadi perhatian utama dari pemegang regulasi, baik Kementerian Sosial maupun Kementerian Agama.
Persoalan ACT memang puncak dari sebuah gunung es. Kepercayaan masyarakat pada lembaga filantropi bisa menurun drastis mengingat dana yang diduga telah disalahgunakan sangat besar. Penyelesaian secara hukum dengan mengungkap fakta-fakta yang terjadi sesungguhnya perlu dilakukan.
Jika tidak ditangani serius, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam berbagai penanganan masalah-masalah sosial di Indonesia, yang selama ini banyak dibantu lembaga-lembaga filantropi bencana ini.
Akankah kita siap berubah, atau terpuruk sampai level terbawah?