"Barang bukti elektronik itu telah berubah isinya di awal dan pertengahan. Ada nama L yang dihilangkan dan itu dibenarkan oleh semua saksi," kata Aziz dalam konferensi pers bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril di Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Dia menuturkan, file yang diajukan alat bukti merupakan salinan, bukan asli. Sementara, jika merujuk pasal 5 dan 6 UU ITE, suatu file elektronik baru bisa dijadikan barang bukti apabila memenuhi 4 ketentuan syarat yaitu dapat diakses, dapat ditampilkan, dapat dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan isinya.
"Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 5 dan 6 tersebut, barang bukti elektronik tersebut tidak dapat menjadi barang bukti yang sah. Tidak bisa seharusnya digunakan oleh polisi, jaksa, bahkan pengadilan menjatuhkan hukuman pidana," ujarnya.
MA menolak PK yang diajukan Baiq Nuril dalam kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Putusan ini menguatkan vonis di tingkat kasasi yang menghukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Untuk diketahui, polemik ini mencuat setelah beredarnya rekaman telepon Muslim, mantan SMA Negeri 7 Mataram dengan Baiq Nuril. Dalam rekaman tersebut Muslim diduga melakukan pelecehan seksual secara verbal dengan menceritakan hal-hal berbau seksual kepada Nuril yang pada saat itu merupakan staf honorer di SMA tersebut. Tak tahan terus menjadi korban, Nuril diduga menyebarkan rekaman itu.
Muslim yang tidak terima rekaman itu beredar lantas melaporkan Baiq Nuril ke polisi pada 2015 lalu. Sementara Baiq Nuril pun akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya akibat kasus tersebut.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, majelis hakim memutus bebas Baiq Nuril. Namun jaksa mengajukan upaya hukum kasasi. MA pada 26 September 2018 mengabulkan kasasi tersebut sehingga Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Baiq Nuril pun mengajukan PK. Sayang, harapannya bebas kandas.