Diketahui, MK sebelumnya memutuskan dua tahapan pemilu. Pertama, pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Kedua, pemilu serentak lokal yang dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelahnya, untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.
Dalam pertimbangan hukum, MK menyampaikan lima alasan mengapa pemilu serentak lima kotak bertentangan dengan UUD. Alasan tersebut antara lain, desain keserentakan pemilu lima kotak menumpuk beban penyelenggara, yang berpengaruh pada kualitas pemilu. Selain itu, terdapat kekosongan masa kerja penyelenggara pemilu setelah tahapan selesai, yang menjadikan proses tidak efisien dan tidak efektif.
Alasan lainnya ketidakmampuan partai politik dalam merekrut anggota legislatif, presiden/wakil presiden, serta kepala daerah secara berdekatan; tenggelamnya isu daerah di tengah isu nasional; dan kejenuhan pemilih akibat waktu pemilu dan pilkada yang terlalu dekat.
Sementara Ketua DPR, Puan Maharani sebelumnya menilai putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal telah menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dia menyebut, semua partai telah sepakat pemilu digelar sekali dalam lima tahun.
"Jadi apa yang sudah dilakukan oleh MK menurut undang-undang itu menyalahi undang-undang dasar," kata Puan di kompleks parlemen, Selasa (15/7/2025).