Dalam perspektif luas, agama apa pun pasti melarang penganutnya melanggar sumpah atau janji, baik diucapkan atau ditandatangani seperti fakta integritas. Di samping itu semua agama pasti memerintahkan penganutnya untuk taat pada aturan atau hukum yang berlaku, baik aturan/hukum agamanya maupun negara. Dengan demikian semua ASN yang melakukan praktik korupsi, baik itu merugikan keuangan negara/daerah secara langsung maupun tidak langsung seperti suap, gratifikasi, dan lainnya telah melanggar hukum/aturan negara dan agamanya.
Di samping itu setiap ASN atau pejabat publik ketika dilantik pasti bersumpah menurut agama yang dianutnya untuk, "Tidak melakukan perbuatan yang berhubungan dengan korupsi dan tidak menerima gratifikasi dalam bentuk apa pun".
Bagaimana mencari pimpinan KPK dan Dewan Pengawas yang berintegritas tinggi? Mencari orang pintar di Indonesia sangat banyak, tapi mencari yang berintegritas dan ikhlas bekerja agak sulit. Mencari orang pintar untuk pimpinan dan Dewan Pengawas KPK dapat dilakukan dengan cara-cara yang sudah biasa berjalan. Sementara untuk mencari orang-orang yang berintegritas, harus mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari calon pimpinan dan Dewan Pengawas tersebut. Biasanya orang yang hidup sederhana dan bersahaja tidak akan silau terhadap keduniaan.
Yang kedua, lihat laporan kekayaan, bandingkan dengan pendapatannya. Audit dan lihat pula dari mana asal kekayaannya.
Ketiga hasil audit kekayaan tersebut cermati apakah garis lurus dengan kehidupannya.
Pencegahan, Penanggulangan dan Mengembalikan Keuangan Negara
Semua bentuk tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga bisa merusak sendi-sendi perekonomian negara. Akibat korupsi, total potensi kerugian negara sebesar Rp28,4 triliun pada 2023, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 19 Mei 2024.
Uang negara yang hilang harus dapat dikembalikan. Pengembalian uang ini merupakan bentuk hak negara dalam melaksanakan kewajibannya, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama lembaga negara lain sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Pengembalian keuangan negara sekarang ini dilakukan hanya kepada orang yang dianggap melakukan tindak pidana saja. Diajukan ke ranah hukum sampai tingkat penjatuhan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap oleh lembaga peradilan/judikatif.
Hal ini sudah pasti tidak bisa mengembalikan kerugian negara yang besar akibat praktik-praktik korupsi yang sistematik dan luas.
Saat ini praktik korupsi yang bisa dijaring atau diajukan ke ranah hukum berupa yang merugikan keuangan negara serta suap dan gratifikasi, yaitu Pasal 2, 3, 5, 6, 11, 12, 12A, 12B, dan 13 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Sementara praktik korupsi lainnya sesuai dengan Pasal 7 perbuatan curang dan Pasal 8, 9, 10, 15, dan 16 tentang perbuatan khianat, sepertinya belum tersentuh atau sangat sedikit sekali dibawa sampai ke meja hijau. Padahal praktik perbuatan curang dan khianat justru merugikan keuangan negara cukup besar walaupun mungkin secara tidak langsung.
Misal pemborong bangunan yang mengerjakan proyek pembuatan gedung pemerintahan dengan anggaran misalnya Rp100 miliar, karena pemborong tersebut ingin mendapat untung dan bisa memberi fee kepada pejabat terkait, anggaran yang digunakan untuk pembangunan hanya dipakai sekitar 75 % saja atau Rp75 miliar. Sementara para oknum pejabat atau oknum ASN yang diam saja, walaupun tahu kecurangan dilakukan oleh pemborong tersebut, karena mendapat jatah dari proyek tersebut.
Kehilangan keuangan negara yang sangat banyak ini hanya bisa dikembalikan sebagian kecil saja. Hal itu tidak boleh dibiarkan karena uang negara yang hilang akan semakin besar.
Uang negara yang hilang bisa dikembalikan dengan cara meminta secara sukarela atau secara paksa. Hal ini bisa dilakukan karena para ASN dan pejabat, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah melakukan kecurangan dalam dinas atau bekerja. Kerugian negara yang diambil oleh ASN atau pejabat dapat dibuktikan lewat audit kekayaan.
Bila audit kekayaan yang bersangkutan dengan cara membandingkan gaji, tunjangan, dan pendapatan yang sah tidak sesuai, berarti mereka melakukan praktik korupsi. Praktik korupsi mempunyai empat bentuk, yaitu merugikan kekayaan negara, dengan cara suap atau gratifikasi, perbuatan curang atau khianat. Dengan demikian kekayaan ASN atau pejabat yang bersangkutan harus dikembalikan baik secara sukarela maupun dengan cara dipaksa.