Hal ini bisa kita lihat dengan sangat gamblang dalam hidup Ayah saya. Beliau yatim sejak kecil karena kakek saya, KH Wahid Hasyim, menteri agama pada kabinet Bung Karno, meninggal dalam kecelakaan mobil. Beliau mendiami rumah keluarga sederhana yang bersebelahan dengan rumah Eyang Margono, kakek dari Pak Prabowo Subianto.
Nenek kami harus menyambung hidup dengan cara berjualan beras untuk menghidupi enam orang anaknya, dan Gus Dur kecil sampai harus sering naik truk pengangkut beras untuk membantu ibunya.
Ayah saya hidup tidak bergelimang harta dan itu diteruskan sampai Beliau dewasa hingga akhirnya menikah dengan gadis Shinta. Mereka meniti kehidupan secara apa adanya. Menapaki tangga kehidupan penuh perjuangan, berjualan es lilin pun pernah dilakoni. Kami dibesarkan dalam hidup tanpa kemewahan, namun sarat dengan penghargaan diri. Bapak menempa kami dengan semangat membumi, yang diwujudkan dalam hasrat untuk mengabdi.
Setelah mempunyai anak, bapak dan mama hijrah ke pinggiran selatan kota Jakarta. Rumah kami waktu itu letaknya terpencil. Sering kami berangkat sekolah dengan sepatu yang dibungkus plastik karena jalan dekat rumah kami berlumpur belum diaspal.
Menunggu kendaraan di pinggir jalan yang penuh asap knalpot, basah kehujanan di halte bis, atau berdiri berjam-jam dalam bis dari Ciganjur, rumah kami, ke Grogol tempat saya menuntut ilmu, adalah cerita ceria hidup saya sehari-hari.