“Kita ketahui bersama bahwa berbagai kebijakan unggulan dari Mas Menteri dilabeli dengan Merdeka Belajar di mana untuk tingkat dasar dan menengah berisi empat program, sedangkan di level perguruan tinggi ada kebijakan Kampus Merdeka yang juga penerjemahan konsep Merdeka Belajar,” ucapnya.
Menurutnya, agak aneh, jika Merdeka Belajar menjadi merk dagang dari entitas swasta yang kebetulan bergerak di bidang Pendidikan. Kondisi ini bisa berdampak hukum jika pemilik paten Merdeka Belajar di kemudian hari menuntut royalty atas penggunaan Merdeka Belajar sebagai label berbagai kebijakan yang dikeluarkan Kemendikbud.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan. Bisa jadi karena perubahan pemilik perusahaan atau perubahan kebijakan perusahaan kemudian ada tuntutan kompensasi atas penggunaan istilah Merdeka Belajar oleh Kemendikbud,” katanya.
Dia menilai ada sejumlah langkah yang bisa diambil untuk menyelesaikan polemik paten Merdeka Belajar. Pertama, kata dia Kemendikbud dan pemilik paten Merdeka Belajar membuat kesepakatan hitam di atas putih jika penggunaan brand tersebut oleh Kemendikbud tidak akan menimbulkan permasalahan hukum.
Langkah kompromi tersebut untuk menjamin jika penggunaan merk dagang swasta oleh instansi pemerintah tidak akan merugikan keuangan negara.
Kedua, lanjut dia pemilik paten mencabut klaim hak kekayaan intelektual atas label Merdeka Belajar. Dengan demikian paten ini bisa digunakan secara leluasa oleh umum termasuk oleh Kemendikbud.
Ketiga, Mendikbud Nadiem Makarim mencari alternative lain untuk label program unggulan Kemendikbud. “Kita ketahui bersama sebenarnya Merdeka Belajar adalah konsep Pendidikan yang dulu disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Kalau saat ini dipatenkan oleh pihak-pihak tertentu ya lebih baik mas Menteri cari brand lain untuk label kebijakannya,” ucapnya.