Mohammad Hatta istri pertamanya buku
Republik ini didirikan oleh para pecinta buku. Mohammad Hatta mulai mengoleksi buku sejak masuk sekolah dagang menengah Prins Hendrik School (PHS) di Batavia tahun 1919. Ketika itu ia diajak pamannya, Mak Etek Ayub, singgah di sebuah toko buku antiquariat di daerah Harmoni.
Mak Etek Ayub menunjukkan kepada Hatta beberapa buku yang dianggapnya penting untuk dibaca. Buku-buku tersebut adalah Staathuishoudkunde (Ekonomi Negara) dua jilid karya NG Pierson, De Socialisten (Kaum Sosialis) enam jilid yang ditulis HP Quack, serta karya Bellamy berjudul Het Jaar 2000.
Menurut Hatta, "Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku." Kegandrungan kepada buku diperlihatkannya dengan membawa pulang 16 peti berisi buku-buku dan hanya satu koper pakaian, saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, setelah 11 tahun tinggal di Belanda.
Begitu banyak jumlah buku yang dibawa pulang, menghabiskan waktu selama tiga hari untuk menyusunnya pada tempat tinggal barunya di Batavia, tahun 1932. Setelah kemerdekaan, koleksi buku-buku pribadinya mencapai lebih dari 10.000 judul dalam bahasa Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan Indonesia. Ribuan buku tersebut berjajar di rak-rak tinggi hampir mencapai langit-langit, merapat dinding lantai satu rumahnya di Jalan Diponegoro 57, Jakarta. Ratusan lainnya memenuhi sejumlah lemari kaca di ruang kerja Bung Hatta di lantai dasar.
Hatta dikenal sebagai orang yang zakelijk, luar biasa disiplin, dan pecinta buku kelas berat. Soal buku-buku itu pula yang sering menjadi parodi tentang Hatta yang paling kerap diulang. Apalagi kalau bukan soal 16 peti buku koleksinya yang ia bawa dari Belanda, lalu ke Batavia, diangkut lagi ke Boven Digul ketika dibuang ke sana, masih tak lekang dibawa ketika dipindah-buangkan ke Banda Neira, kembali lagi ke Batavia, dan kemudian ke Bangka. Bayangkan16 peti.
Saking banyaknya, ketika baru tiba di Digul, teman sesama buangan, Moh. Bondan namanya, sampai tak tahan berseru; “Anda ke sini dibuang apa mau buka toko buku?”
Selepas dibuang ke Bovem Digul oleh pemerintah kolonial Belanda, Hatta dibuang ke Banda Neira. Sewaktu akan kembali ke Batavia, Sjahrir ingin mereka membawa serta anak-anak angkat mereka, adik-beradik Des Alwi yang jumahnya 6 orang. Tapi pesawat mereka rupanya tidak kuat membawa setengah lusin anak dan 16 peti buku. Harus pilih salah satu untuk ditinggalkan.
Sjahrir ngotot bawa anak, Hatta sendiri bisa ditebak, tentu saja pilih buku yang sudah melanglang dua pertiga luas dunia itu. Walau akhirnya Hatta mengalah, syaratnya sungguh mengesalkan, Des Alwi tidak jadi diajak agar bisa menjaga buku-buku itu sampai semuanya tuntas dikirim ke Batavia.
Buku juga mahar perkawinan Mohammad Hatta dengan Rahmi Rahim. Bertempat di sebuah Villa di kawasan Megamendung Bogor pada 18 November 1945. Bung Hatta resmi menikahi Rahmi Rahim. Kala itu usia mereka terpaut cukup jauh, Bung Hatta berusia 43 tahun sementara Rahmi 19 tahun.
Tidak seperti pernikahan lainnya, sang Proklamator ini menjadikan buku filsafat karyanya, berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai mas kawin. Pilihan mas kawin ala Bung Hatta tidak terlepas dari kecintaannya terhadap buku dan pengetahuan. Ia menganggap mas kawin berupa sebuah buku hasil pemikirannya sendiri, jauh lebih berharga dibandingkan dengan harta benda lainnya. Bahkan di antara rekan sejawatnya, Bung Hatta kerap mendapat olokan bahwa buku adalah “istri pertama” sedangkan Rahmi “istri kedua”.