Sementara itu, Ketua Bidang Hukum DPP RPA Perindo, Amriadi Pasaribu menyatakan bahwa kasus ini harus tetap dilanjutkan karena merupakan tindakan yang sangat serius.
Oleh karena itu, langkah-langkah hukum sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak Nomor 11 tahun 2012 harus diambil. Ketiga pelaku harus diberikan pembinaan agar tidak terulang kejadian serupa.
"Mereka harus dibina dan ditempatkan di lembaga pembinaan khusus anak. Tidak ada alasan bagi kepolisian untuk membiarkannya. Jika dibiarkan, maka akan muncul predator seksual lainnya dan masyarakat akan menganggap tindakan tersebut sebagai hal biasa. Itu adalah pertimbangan kami," katanya.
Selain itu, Amriadi menginginkan agar pihak kepolisian, Peksos, dan Wali Kota lebih peduli dalam melindungi semua pihak yang terlibat.
"Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut seharusnya membuat pemerintah kota Tangerang turun langsung ke masyarakat. Ini bukan tindakan biasa, jadi mereka harus dilindungi karena anak-anak adalah aset bangsa di masa depan," ujarnya.
Selain itu, alasan lain untuk menolak diversi adalah bahwa ketiga pelaku dapat dikenakan Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa "pelaku tindakan cabul terhadap anak di bawah umur akan dikenai pidana penjara dengan hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda maksimal Rp. 5.000.000.000 (Lima Miliar Rupiah).
Selain itu, korban dan keluarganya masih tetap dikucilkan oleh pelaku. Pelaku terus mencemooh dan mengolok-olok korban dengan mengatakan bahwa polisi tidak akan menangkap mereka karena masih di bawah umur.
Karena itu, setiap kali korban melihat pelaku, ia mengalami trauma dan gangguan psikologis serta teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya.
Masyarakat juga menilai bahwa tindakan pelaku di lingkungan tersebut tidak dianggap serius.
"Saya berharap kasus anak saya selesai dan anak saya mendapatkan keadilan. Saya berterima kasih kepada RPA Perindo yang membantu menangani kasus anak saya," ucap ibu korban, AW (36).