Semangat Kepahlawanan Sampai Cape Town, Menggelora dalam Diplomasi Indonesia

Tudiono
Tudiono (Foto: Istimewa)

Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, maka sekutu akan menyerang Surabaya pada 10 November 1945. 

Gubernur Suryo melalui radio pada pukul 23.00 mengumumkan penolakannya hingga pertempuran Surabaya meletus pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB.

Darah kepahlawanan Indonesia itu ternyata telah menyebar ke Cape Town, Afrika Selatan, lebih dari 350 tahun yang lalu dibawa oleh ulama-ulama pejuang Indonesia. Dua di antara ulama pejuang yang sangat dihormati masyarakat Cape Town adalah Syekh Yusuf Al Makassari dan Tuan Guru yang bernama asli Imam Abdullah Qadhi Abdus Salam. Mereka diasingkan ke Cape Town karena perlawanannya terhadap VOC.

Syekh Yusuf Al Makassari lahir di Makassar pada 3 Juli 1626. Dia menghabiskan masa muda untuk belajar dan banyak merantau ke beberapa negara untuk belajar. Beberapa di antaranya adalah Suriah, Turki, Yaman, dan Arab Saudi, pada 1644.

Setelah selesai dari Arab Saudi, dia kembali ke Indonesia. Namun, dia menyadari bahwa Makassar saat itu sudah diduduki oleh VOC. Akhirnya, dia memutuskan pergi dari Makassar dengan membawa pasukan untuk bertolak ke Banten, membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam beberapa kali perang, dia tertangkap dan diasingkan oleh VOC ke Ceylon (sekarang Sri Lanka) pada 1682. 
VOC berharap, dengan pengasingan tersebut, Syekh Yusuf Al Makassari tidak akan menjalin hubungan dengan orang-orang penting.

Dugaan VOC rupanya meleset. Syekh Yusuf malah membangun hubungan baik dengan orang-orang Nusantara yang singgah dalam perjalanan menuju haji. Tidak hanya itu, dia juga membangun relasi dengan ulama-ulama India seperti Sidi Matilaya, Abu Al Ma’ani Ibrahim Minhan, dan Abd Al Shiddiq bin Muhammad Shadiq. Akhirnya, pada 27 Juni 1693, dia diasingkan kembali bersama 49 pengikut, 2 istri, dan 12 anak dengan kapal Voetboeg ke Tanjung Harapan dan kemudian dibawa ke Zandvliet.

Atas perjuangan Syekh Yusuf ini, dia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 1995 dan oleh Pemerintah Afrika Selatan pada 2005. 

Hingga kini, sosok Syekh Yusuf sangat dihormati oleh komunitas Cape Malay yang merupakan keturunan Indonesia yang jumlahnya telah melampaui 300.000 orang. Makam (Kramat) Syekh Yusuf masih terawat dengan baik di Macassar, Cape Town. 

Sementara itu Tuan Guru yang bernama asli Abdullah bin Qadhi Abdus Salam, karena perlawanannya terhadap VOC, ditangkap dan diasingkan ke Robben Island dengan kapal Zeepard. Roben Island merupakan pulau kecil tidak jauh dari Cape Town tempat Nelson Mandela dipenjara selama sekitar 24 tahun karena menentang pemerintah aparteid.

Selama di Robben Island, Tuan Guru yang hafal Alquran menulis ulang Alquran berdasarkan ingatannya dan mengajarkan penduduk sekitar. Perannya ini menjadikannya disebut Tuan Guru.

Setelah masa tahanannya selesai, Tuan Guru memutuskan untuk tinggal di Cape Town. Salah satu pengikutnya yang bernama Achmad van Bongalen menghibahkan satu bangunan yang akhirnya dijadikan masjid oleh Tuan Guru dan menjadi masjid pertama di Afrika Selatan dengan nama Masjid Al Auwwal. 

Masjid ini berada di daerah Bo Kaap, Cape Town. Selain itu, beliau juga menuliskan buku Ma’rifat wal Iman wal Islam yang kemudian menjadi panduan umat muslim Cape Town. Tuan Guru meninggal di Cape Town pada tahun 1807 pada usia 95 tahun.

Darah kepahlawanan Indonesia yang senantiasa konsisten menentang penjajahan dan ketidakadilan juga tumbuh subur di ranah diplomasi. Indonesia berada di garis terdepan dalam perjuangan menentang penjajahan. Hal ini antara lain tercermin pada peran penting Indonesia dalam menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung dan melahirkan the 10 principles of Bandung yang merupakan salah satu milestones diplomasi Indonesia.

Indonesia bahkan sejak masa Presiden Soekarno sampai sekarang aktif mendukung kemerdekaan Palestina, satu-satunya peserta KAA yang masih belum memperoleh kemerdekaannya.

Presiden Soekarno pada 1962 menegaskan, "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka sepanjang itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajah Israel". 

Kata-kata Presiden Sukarno ini juga didengungkan oleh Ketua Delegasi RI pada The 60th Annual Session of AALCO, New Delhi, pada 26-28 September 2022 dan sangat diapresiasi oleh Ketua Delegasi Palestina.

Editor : Anton Suhartono
Artikel Terkait
Nasional
7 hari lalu

Soeharto Masuk Daftar Calon Pahlawan Nasional, Wamensos: Usulan Sejak 2010

Nasional
9 hari lalu

Daftar Lengkap 40 Tokoh Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional: Soeharto hingga Marsinah

Nasional
9 hari lalu

Mensos: Nama Pahlawan Nasional Baru Diumumkan sebelum 10 November 2025

Nasional
15 hari lalu

Momen Prabowo Jamu Presiden Afsel Makan Siang di Istana, Suguhkan Soto Banjar

Nasional
15 hari lalu

Momen Prabowo Teriakkan Yel-Yel Anti-Apartheid saat Bertemu Presiden Afrika Selatan

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal