Oleh karena itu, Tuti menjelaskan harus ada inovasi yang berfokus pada tujuan. Ia mencontohkan masuk pagi dimulai dengan olahraga bersama untuk melatih fisik dan menyegarkan badan para siswa.
“Setelah itu, dilanjutkan dengan kegiatan literasi, di mana siswa diberi waktu 1 jam untuk membaca buku dan berdiskusi. Selebihnya silahkan melakukan kegiatan pembelajaran seperti biasa. Penting, dari program-program dan kebijakan inovatif tersebut harus dievaluasi secara berkala,” tutur dia.
Sementara itu, dosen FISIP ini juga menyoroti bahwa aturan tersebut akan memberatkan siswa. Alhasil, belum tentu siswa senang dan semangat untuk sekolah.
Bahkan, dalam istilah sosiologi pendidikan ada yang dikenal dengan nama kekerasan simbolik. Artinya, siswa dan para guru mengalami kekerasan akibat aturan yang dibuat pemerintah, namun tidak dianggap karena tujuannya dianggap baik.
Maka dari itu, aturan tersebut ditakutkan membuat anak malas sekolah hingga putus sekolah. Ia pun menilai bahwa kebijakan tersebut dapat efektif.
“Pada hakikatnya, belajar adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan kegiatan yang membuat anak tertekan. Jika aturan tersebut dibuat, maka kemungkinan siswa akan malas bersekolah dan bahkan bisa menyebabkan putus sekolah. Jadi sekali lagi kebijakan itu akan menjadi tidak efektif,” ujarnya.