Penyesuaian tentang definisi dan manajemen respons tindakan aparat keamanan perlu dikaji kembali menyesuaikan dengan forecasting terrorism di masa depan. Pertanyaan penting untuk hal ini adalah apakah respons terhadap serangan terorisme siber atau cyber terrorism memiliki kesamaan dengan serangan konvensional? Dalam konteks serangan teror konvensional, tim penindakan Polri memiliki kewenangan melakukan tindakan represif. Namun apabila terjadi serangan siber terhadap siapa penindakan tersebut dapat tertuju di ruang siber, apakah juga dapat menindak operator maya yang mungkin tidak berada di wilayah RI? Selain itu penting juga untuk meletakkan kewenangan kelembagaan berkenaan dengan terorisme siber ini. Persoalan siapa yang akan diberi kewenangan respon tersebut, BSSN-kah atau Polri-kah, sudah seberapa siap Polri dengan terorisme siber?
Hemat penulis, mengacu pada criminal justice system yang dianut oleh rezim pemberantasan terorisme di Indonesia, Polri menjadi salah satu elan vital. Lembaga ini berperan melakukan mirroring atas upaya penegakan hukum tindak pidana terorisme konvensional juga di dalam ruang siber. Penguatan Polri di mana Densus 88 menjadi ujung tombak dalam penanganan terorisme siber walau bagaimanapun sangat diperlukan. Dengan demikian hal ini bukan semata shifting response atas tindak pidana terorisme. Akan tetapi lebih berupa menguatkan lembaga yang ada agar tepat menghadapi hybrid terrorism dengan pola hibridasi pemberantasan tindak pidana terorisme.
Akhirnya, dengan menyimak indeks keamanan dan siber yang ada, maka makin nyata terdapat tantangan pemberantasan terorisme di ranah siber. Baik siber sebagai sarana (perantara) maupun target sasaran terorisme itu sendiri. Maka berkaca dari penanganan terorisme konvensional, nampaknya negara perlu menyiapkan berbagai macam pendekatan solutif multidisipliner. Tentunya dengan tetap mempertimbangkan dimensi hak manusia dalam norma penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. ***