Todung menilai apa yang dilakukan Ketua MK bukan hanya soal pelanggaran etika tetapi lebih dari itu apa yang dilakukannya adalah sebuah pelanggaran hukum.
"UU memberikan jalan pemberhentian karena perbuatan tercela. Jimly perlu memberhentikan dengan tidak hormat ketua MK Anwar Usman. Apakah mungkin? Kita tunggu dan lihat besok. Namun bila mengutip pernyataan Jimly disebut jelas ada pelanggaran etik Ketua MK," kata Todung.
Todung mengatakan kepercayaan publik terhadap MK dirusak oleh putusan MK No.90/PUU-XXI//2023. Putusan ini telah merusak tatanan kehidupan bernegara.
"Kalau itu dibiarkan dan kita permisif maka ini jadi preseden buruk yang akan diulangi di masa depan," kata Todung.
Todung mengatakan dirinya melihat perkara ini bukan soal konflik of interest. Sebenarnya perkara itu tidak bisa diuji karena sudah diuji sebelumnya pada perkara yang sama di sidang MK di hari yang sama.
"Banyak yang janggal misal soal legal standing yang tidak ditandatangani. Juga ketidakterbukaan Ketua MK yang tidak mengakui punya benturan kepentingan. Lalu soal Ketua MK sakit atau tidak sakit. What going on what wrong," ucap Todung.
Todung menilai apa yang terjadi saat ini membuat Indonesia set back ke situasi sebelum 1998. Menurutnya, kalau bangsa Indonesia ingin merawat kehidupan bernegara maka harus mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga MK.
Soal kemungkinan apakah putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan, Todung menjawab bila melihat pandangan konservatif maka putusan MK tidak bisa diubah. Namun, gugatan terhadap putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Deny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar bisa saja MK mengubah putusan MK tersebut.
Sebab seharusnya MK hanya bisa berfungsi sebagai negatif legislatif dan tidak bisa membuat norma baru.
"Namun apakah ada keberanian hukum dari hakim-hakim MK untuk melakukan itu? Pandangan konservatif tidak ada putusan MK yg bisa digugat. Tapi melihat proses dan kejanggalan maka itu bisa dilakukan," kata Todung.