Boleh dibilang masa kecil dan remaja Sutiyoso bengal. Kala SMA, dia bahkan dikenal sebagai tukang berkelahi. Nyalinya yang pemberani membuatnya dikenal sebagai jagoan. Karena itu pula saat kelas 3, oleh orang tuanya dia dipindah dari SMAN 1 Semarang ke Pontianak, Kalimantan Barat.
“Sutiyoso dipindahkan untuk memisahkan dari teman-temannya yang bengal dan nakal. Di Pontianak ada kakaknya, Suparto. Diharapkan Mas Parto dapat mengontrolnya,” tulis Robin.
Lulus SMA, Sutiyoso mulai merenung tentang masa depannya. Dia ingat nasihat ayah dan ibunya. Karena itu pada 1964 dia masuk Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang. Namun, menjadi mahasiswa seolah tak menjadi jiwanya. Sejak bocah dia selalu berhasrat menjadi tentara.
Dalam persimpangan jalan, Sutiyoso akhirnya mengikuti naluri. Hanya setahun dia di kampus. Masuk tahun kedua, dia memilih mendaftar Akademi Militer Nasional (kini Akmil). Dalam perjalanannya dia sukses melewati semua tes berat dan akhirnya lolos ke Lembah Tidar.
Sutiyoso lulus Akmil 1968. Mengutip laman resmi Akmil, beberapa rekan angkatannya antara lain Jenderal TNI (Purn) Wiranto dan Jenderal TNI (Hor) (Purn) Agum Gumelar. Di militer, Wiranto kelak menjadi Panglima TNI, sementara Agum Danjen Kopassus, lalu gubernur Lemhannas.
Sutiyoso memilih kecabangan infanteri sebagai jalan pengabdian di TNI. Lebih spesifik, dia memutuskan ditempa sebagai pasukan elite Korps Baret Merah. Di Kopassus ini pula serdadu penggemar olahraga ini diterjunkan ke berbagai medan tempur, termsuk Operasi Flamboyan di Timor Timur (kini Timor Leste).
“Operasi Flamboyan yakni suatu operasi intelijen tempur pimpinan Kolonel Dading Kalbuadi yang bermarkas di Motaain,” tulis buku biografi ‘Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’ karya Hendro Subroto, dikutip Kamis (9/9/202). Operasi ini bagian untuk memerangi Fretilin yang ingin memisahkan Timor Timur dari NKRI.