Dari tribune, penonton bisa menyaksikan dengan jelas para atlet yang berlomba berenang sedekat mungkin dengan tali lintasan di nomor tertentu.
Dengan adrenalin yang terpicu dan otot yang bekerja mengayuh secepat mungkin, para atlet paralimpik dengan keterbatasan visibilitas juga harus tahu kapan mereka berbalik ketika mencapai ujung lintasan.
Namun, jika mereka tidak bisa melihat, bagaimana para atlet bisa tahu ujung lintasan?
Mengandalkan perasaan saja tidak akan mungkin. Pasalnya, atlet dengan penglihatan rendah pun harus ditutup matanya dengan kacamata tidak tembus pandang ketika berlomba bersama para atlet dengan tingkat kebutaan total.
Jadi mereka secara teknis sama-sama tidak bisa melihat kondisi kolam. Mereka pun harus tahu kapan harus berbalik, kalau tidak mereka akan menabrak tembok kolam.
Untuk hal itu, para pelatih menugaskan dua pendamping yang disebut "tapper" untuk setiap atlet di lintasan. Tugas para tapper itu adalah memberi sinyal bagi para atlet ketika mereka akan sampai di ujung lintasan.
Petugas tapper tidak diperbolehkan memberikan instruksi verbal kepada para atlet, sebagai gantinya mereka "dipersenjatai" dengan suatu alat semacam galah atau tongkat yang dilengkapi dengan bahan lunak sebagai bantalan di ujungnya.
“Alat tapper itu buatan sendiri, tidak ada standarnya, ungkap Handoko.
Karena tidak ada standar tertentu, galah bisa terbuat dari pipa alumunium, bambu maupun plastik dengan panjang minimal dua meter.
Ujung tapper pun bisa dipasangi bantalan yang terbuat dari spons, bola tenis hingga karet dari klakson angin.
"Standarnya alat tersebut tidak boleh mencederai atlet," kata Handoko.
Para tapper (kanan) bertugas menepuk atlet untuk memberi tahu ujung lintasan.
Para tapper bertugas untuk menepuk atlet para-renang dengan disabilitas penglihatan di bagian tubuh tertentu seperti kepala atau punggung untuk memberi sinyal bahwa mereka akan sampai di ujung lintasan.
Strateginya pun tergantung para atlet dan nomor perlombaan yang mereka ikuti. "Kalau gaya bebas, saya memakai satu tarikan. Sementara gaya kupu-kupu saya memerlukan sinyal untuk dua tarikan sebelum mencapai lintasan," kata Iberamsyah.
Iberamsyah pun lebih senang ditepuk di bagian punggung oleh para tapper. Ketika ditepuk, dia pun langsung berbalik di ujung lintasan. Jadi strateginya adalah "tepuk dan berbalik".
"Kita sudah tahu penampilan kita maksimal di gaya apa. Tinggal menguasai teknik yang terbaik," kata perenang berusia 44 tahun itu.
Ketika di lomba, tidak penting bagi mereka untuk mengetahui posisi lawan. Yang penting berenang secepat mungkin.
"Ya tidak tahu. Kalau mereka masih dekat kadang bisa terasa percik dan gelombang air di samping," ungkap Iberamsyah.
Ketika tertinggal pun, Iberamsyah mengaku ada perasaan berbeda di kolam, karena mungkin merasa bahwa di sisi kanan dan kiri dia tidak ada suara kayuhan lawan.
Satu hal yang unik lagi, setelah finis pun, Iberamsyah dan atlet para-renang lainnya baru mengetahui hasil lomba dan catatan waktu mereka setelah diumumkan lewat pengeras suara.
Sangat mencemaskan pastinya ketika mereka berdiam di kolam, mendengarkan sorak-sorai penonton untuk mereka, tapi mereka pun tidak yakin sorakan itu untuk siapa.
Itulah kehebatan atlet renang paralimpik dengan keterbatasan penglihatan. Mengalahkan lawan itu tidak mudah, tapi menembus batas dan mengalahkan diri sendiri itu lah yang terpenting.