Pada sisi lain, skala kompetisi yang semakin padat menambah kompleksitas. Beberapa klub Liga 1 juga tengah berlaga di kompetisi antarklub Asia, seperti AFC Champions League 2, AFC Challenge League, dan ASEAN Club Championship.
“Ketika klub bermain Jumat–Minggu. Di tengah-tengahnya ada turnamen antarklub Asia yang tingkatannya ada tiga. Lalu sekarang juga ada turnamen antarklub Asia Tenggara,” jelasnya.
Erick menegaskan keinginan menghidupkan Piala Indonesia harus sejalan dengan penataan kalender kompetisi terdahsyat.
“Jadi Piala Indonesia, silakan kalau masuk kalendernya. Tapi yang tadi, saya tidak takut dihujat karena saya percaya proses. Ini pola pikir yang sama-sama kita dudukkan. Tidak ada salah dan benar. Saya mendukung Piala Indonesia, cuma kalendernya kapan?” lanjutnya.
Pria berkacamata ini juga mengingatkan bahaya penyebaran informasi yang instan di media sosial. Ia meminta agar pernyataan soal turnamen ini tidak dipelintir hanya dalam hitungan detik.
“Jadi terkait Piala Indonesia begitu. Nanti jangan diedit dua detik. Kan senangnya diedit dua detik,” tambahnya.
Selain itu, Erick menyoroti aspek biaya dan kesehatan pemain. Ia khawatir biaya operasional klub akan melonjak serta risiko cedera pemain meningkat jika agenda pertandingan terlalu padat.
“Saya rasa biaya logistik, pemain yang cedera. Apalagi kalau saya kepentingannya, mohon maaf, tiba-tiba pemain Timnas Indonesia cedera semua. Pengganti yang tidak ada. Talent pool kita baru tipis. Ini realitanya,” tutupnya.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Erick menegaskan bahwa proses revitalisasi Piala Indonesia mesti dilakukan secara bertahap, melibatkan koordinasi erat antara PSSI, klub, dan pemangku kepentingan lainnya.