Gua Maria Lourdes Puhsaran
Di tengah kawasan yang luas dan tenang itu, terdapat satu titik yang menjadi pusat perhatian dan devosi umat: Gua Maria Lourdes Puhsarang. Gua yang dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Bunda Maria dan terinspirasi oleh Gua Lourdes di Prancis.
Batu-batu vulkanik dari Gunung Kelud menyusun dindingnya, dan di tengah gua berdiri patung Bunda Maria dengan wajah teduh, seolah menatap lembut setiap peziarah yang datang. Patung setinggi 4 meter ini selama masanya, mulai dibangun lagi oleh Gudang Garam Kediri dan pihak pengelola pada 1997 dan diresmikan pada 2000.
Di dalam gua, mengalir air jernih dari pancuran batu — air yang diyakini membawa berkah dan ketenangan batin. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah simbolis: tirto kamulyan, yang berarti “air pembawa kemuliaan” atau “air suci yang menenangkan jiwa.”
Selain dibangun sebagai bentuk devosi umat Katolik terhadap Bunda Maria, Gua Maria juga menjadi tempat perenungan dan permohonan bagi siapa pun yang datang. Perpaduan budaya Jawa dan sentuhan energi dari Kerajaan Majapahit yang masih kental, menjadikan Malam Jumat Legi sebagai salah satu penanggalan yang paling sakral di Puhsarang. Penanggalan ini dipercaya sebagai momentum sakral yang diyakini membawa energi spiritual yang lebih kuat dari biasanya.
Setiap Jumat Legi tiba, Gua Maria menjadi tempat untuk melakukan Misa Tirakatan Jumat Legi yang dipimpin oleh seorang Romo. Ratusan umat Katolik datang dari penjuru kota untuk bisa berdoa dan menyampaikan keinginan mereka.
Sejak sore hari, suasana di kompleks Gua Maria Lourdes Puhsarang mulai berubah. Langkah umat terdengar pelan menyusuri jalan batu, dan gema doa mulai menggema di antara bebatuan kokoh yang mengelilingi kompleks suci itu.
Misa Tirakatan Malam Jumat Legi
Salah satu hal yang menjadikan Misa Tirakatan Malam Jumat Legi begitu unik adalah kesempatan bagi umat untuk membakar “ujut”, atau permohonan mereka, dalam sebuah tungku khusus yang telah disediakan di area gua. Ujut ini dapat berupa tulisan apa saja — mulai dari doa untuk kesembuhan, keberhasilan usaha, hingga permohonan agar utang-utang segera lunas. Lembaran-lembaran kertas itu, yang perlahan berubah menjadi abu, dipercaya membawa pesan spiritual umat kepada Tuhan melalui simbol pelepasan dan penyerahan diri.
Malam itu terasa begitu hangat dan tenang. Suara angin berhembus melewati dedaunan terdengar. Ini bukan sekadar waktu berdoa, tetapi pertemuan batin. Mereka percaya bahwa Bunda Maria hadir dalam cara yang lembut — tidak tampak mata, tapi terasa di dada. Doa-doa yang berbisik pelan di antara gemericik air gua dipercaya membawa energi penyembuhan dan pencerahan. Setiap orang seolah tenggelam dalam percakapan rahasia antara dirinya dengan Tuhan.
Selain membakar ujut, umat Katolik juga memiliki kesempatan untuk menyampaikan intensi pribadi kepada Romo yang memimpin misa. Intensi-intensi ini pun beragam dan menyentuh: ada yang berdoa untuk kesembuhan dari penyakit, memohon kekuatan bagi keluarga yang berduka, hingga berharap agar anggota keluarga yang lama hilang dapat segera ditemukan.
Tradisi Misa Tirakatan Malam Jumat Legi tidak hanya menjadi perjalanan spiritual bagi umat Katolik, tetapi juga menjadi wadah untuk mempererat tali persaudaraan antar umat. Dari berbagai daerah, seperti Kediri, Tulungagung, Surabaya, Tuban, Bandung, hingga Tangerang turut hadir untuk mempererat tali persaudaraan, bertukar cerita, dan saling mendoakan.