"Dulu, 1971-1980-an, saya tinggal persis di sebelah kanan masjid. Pada masa kanak, saya sering ikut nenek belajar ngaji, yang ngajar om tapol. Bapak saya polisi militer yang jaga om tapol. Sebagai anak polisi militer, saya agak istimewa karena leluasa masuk tahanan ke sel-sel om tapol. Seru juga belajar menari, tenis, dan drama. Kenangan mengesankan saya kerap ikut pentas drama bersama mereka di dalam tahanan. Beberapa tahun lalu, saya sempat main ke sana, tapi hanya bisa mengelus dada. Kondisinya sangat memprihatinkan. Yang sedikit terawat hanya bangunan untuk sarang burung walet, jadi lahan bisnis entah milik siapa," tutur Henry Ismono, mantan wartawan yang kini menjadi penulis dan sekitar 10 tahun menghuni benteng ini, dalam comment Facebook-nya setelah saya menulis status tentang perjalanan ke Benteng Willem.
Hingga kini, sejumlah bangunan Benteng Willem masih dihuni. Termasuk rumah dinas Kalapas Ambarawa yang terletak persis di depan bangunan baru penjara. Delapan tiang penyangga berdiri kokoh di depan bangunan berdinding bata ini. Saat saya menanyakan keberadaan Kalapas, salah seorang anak buahnya mengatakan sedang keluar.
Ada tulisan dilarang naik ke atas bangunan yang dihuni. Tapi sejumlah pengunjung dibiarkan menaiki tangga karena tidak ada yang menjaga. Sebagaimana rumah biasa, kursi dan meja tampak dari jendela yang terbuka.
Berbeda dengan bangunan benteng yang pintu dan jendelanya telah raib atau rusak. Tembok serta tiangnya pun sudah terkikis, hanya menyisakan batu bata.
"Sayang ya, pak, ngenes gini. Padahal kalau dipugar terus dirawat, kan bisa jadi tempat wisata yang ramai," ujar Ahmad, pelancong Tahun Baru asal Pekalongan, Jawa Tengah, setelah saya minta tolong memotret diri berpose di antara dua tiang kuno yang nyaris hancur.
Saya mengiyakan dalam hati, berharap pemerintah pusat atau daerah turun tangan menyelamatkan situs bersejarah yang konon pernah diserbu pasukan Jenderal Soedirman pada masa revolusi kemerdekaan ini.