Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (ASPADIN) mengatakan, sejatinya pemerintah dan lembaga terkait termasuk BPOM telah memberikan keputusan yang menyebut air minum dalam kemasan dengan bahan polikarbonat telah aman dikonsumsi masyarakat.
Menurutnya, pada 2020, BPOM juga menggelar penelitian selama lima tahun terkait batas migrasi pada galon PET maupun polikarbonat, yang dinyatakan masih di bawah batas aman.
"BPOM meneliti ratusan jenis kandungan kimia dalam ratusan jenis kemasan. BPA hanya salah satu kandungan dari ratusan kemasan itu. BPOM menemukan, semua berada di bawah ambang batas 0,01 bagian per juta. Artinya 1/60 dari batas aman (0,6 bpj),” ujar Rachmat.
Untuk itu dia mengkritisi keputusan BPOM untuk menerbitkan revisi atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang akan mewajibkan label BPA pada kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatman mengatakan, BPA ada di mana-mana tidak hanya di polikarbonat, ada di kemasan kaleng, bahkan di botol bayi.
Berdasarkan penelitian, kata Dr. Nugraha, kandungan BPA terbanyak ada pada kemasan makanan kaleng, dengan hampir 90 persen bahan enamel pada kaleng merupakan hasil polesan epoksi yang bahan bakunya adalah BPA.
Upaya menetapkan aturan label BPA menurutnya seperti membuat persepsi, kemasan dengan label BPA free sudah aman.
“Padahal belum tentu. Karena dari PET juga memiliki risiko dari kandungan yang lain, seperti dari kandungan acetaldehyde lalu etilen glikol, dan dietilen glikol,” katanya.